Oleh : Gugus Elmo Ra’is
Sistem politik multi partai yang kita anut membuat tabiat para politisi menjadi lucu dan menggelikan. Sehingga kultur politik di Indonesia terbilang menjadi kultur yang paling aneh di dunia. Idealnya setiap kontestasi politik dalam proses suksesi kepemimpinan nasional adalah kontestasi ide dan gagasan, Meski kontestasi itu untuk memperebutkan kursi kekuasaan, namun semua bermuara agar setiap calon pemimpin yang diusung oleh masing-masing partai bisa melakukan eksekusi gagasan yang berbasis ideologi dan platform partai masing-masing. Dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial di masyarakat.
Koalisi yang dibentuk juga berdasarkan kesamaan platform seperti tesis Huang Wa. Sehingga pemerintahan yang terbentuk memiliki legitimasi yang cukup dari massa yang memiliki persepsi yang sama untuk mewujudkan cita-cita dalam membangun negara. Namun yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, koalisi yang dibentuk berdasarkan kepentingan politik praktis. Demokrasi baru sebatas dimaknai sebagai struggle of power (perjuangan untuk mencapai kekuasaan) belaka. Ketimbang sebagai sarana perjuangan gagasan untuk mensejahterakan rakyat.
Saat masa kampanye semua partai dan calon berkompetisi untuk memperebutkan kursi di parlemen dan kursi untuk Presiden dan Wakil Presiden dengan berbagai isu yang dijadikan sebagai komoditas politik. Proses Pemilu juga diwarnai berbagai upaya kapitalisasi isu yang nyaris membuat massa pendukung masing-masing kelompok terbakar oleh amarah. Tensi ketegangan itu hingga saat ini juga belum reda sepenuhnya.
Bila sebelum menentukan koalisi banyak partai yang menuntut konsesi dengan bahasa wani piro. Pasca penetapan pemenang Pilpres masih ada partai yang berusaha bermanuver untuk untuk mendapatkan jatah kursi dengan memanipulasi bahasa sebagai biaya rekonsiliasi agar bangsa ini tidak terpecah. Bahkan ada pihak yang sudah kalah masih meminta konsesi 40% jatah kursi di kabinet. Sontak permintaan itu ditangapi penolakan oleh partai-partai yang telah menyatakan dukungan sejak awal pencalonan. Melihat perilaku para politisi seperti itulah, tidak berlebihan jika kita nilai kontestasi dan kompetisi politik saat ini bukan berbasis ideologi tetapi lebih tepat berbasis kursiologi (baca, ilmu/strategi bagi-bagi kursi) dengan mengabaikan perasaan konstituen masing-masing yang telah memberikan dukungan secara emosional.
Fenomena pragmatisme itulah yang saat ini menjerat presiden terpilih. Meski memiliki bekal hak prerogatif dalam sistem presidensial, setiap presiden tetap harus tunduk dan patuh terhadap kesepakatan partai-partai anggota koalisi yang telah mendukungnya saat menyusun koalisi. Kepusingan presiden niscaya akan semakin bertambah setelah para mantan kompetitornya memintah jatah konsesi kursi menteri di kabinet.
Kondisi itulah yang menjadi dilema tersendiri bagi presiden terpilih. Dengan konsideran agar pemerintahan berjalan efektif tanpa gangguan yang frontal dari koalisi kelompok oposisi, maka presiden harus mengakomodir tuntutan itu. Di sisi lain partai anggota koalisi pendukung pemerintah pasti tidak akan rela, kue yang tinggal dilahap itu kini harus diiris-iris lagi untuk diberikan kepada para anggota koalisi yang baru.
Problema pelik yang dihadapi oleh presiden terpilih itulah yang menjadi tesis dari Scoot Mainwaring jika sistem multi partai tidak cocok diterapkan terhadap negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial seperti Indonesia. Karena meski berbekal dengan legitimasi yang cukup, memperoleh suara sekitar 53% tetap membuat presiden terpilih tidak akan leluasa untuk menyusun pemerintahan. Selain persoalan dalam menyusun pemerintahan, presiden terpilih juga akan kesulitan mengendalikan pemerintahan, jika melhat tabiat para politisi dan partai yang doyan mengeksploitasi departemen-departemen untuk mengambil manfaat secara ekonomi.
Karena selain multi partai, politik kita adalah politik biaya tinggi (high cost politic) karena sistem pemilihan langsung. Sementara subsidi dari pemerintah untuk pembiayaan partai relatif kecil. Sehingga setiap politisi dituntut untuk ‘kreatif’ dalam menggali sumber-sumber pembiayaan partai. Tak mengherankan bila banyak ketua partai yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK karena terbukti terima suap atau graitifikasi dari berbagai proyek di kementerian masing-masing.***