Oleh : Gugus Elmo Rais
Secara sarkasme Karl Marx melalui bukunya, Die Religion pernah menyebutkan jika religion ist das opium des volkes (yang artinya kurang lebih agama adalah candu bagi masyarakat). Sindiran Marx itu tercantum pada pembukaan tulisannya, A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right, yang ditulis oleh Marx pada tahun 1843 dan terbit pada tahun 1844 di Paris dalam jurnal Deutsch–Französische Jahrbücher, yang dieditori oleh Marx dan Moses Hess. Ungkapan Marx itu berawal dari ketertarikannya pada kritik agama yang disampaikan oleh Bruno Bauer dan Ludwig Andreas von Feuerbach atau lebih dikenal sebagai Ludwig Feuerbach.
Bila dimaknai secara leksikal atau letterlek/leterlijk. hipotesa Marx itu jelas adalah sebuah penghinaan terhadap akal sehat. Penistaan terhadap jawaban akan kebutuhan trasendental manusia terhadap keberadaan sang khalik sebagai pemilik dan pengatur kehidupan sesuai dengan sifatnya sebagai sang maha kuasa (Al Jabbar) yang bisa dipahami berdasarkan keyakinan (keimanan). Sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan tri logi komunisme terutama materialisme. Hipotesa Marx itulah yang menjadi jurang pemisah antara komunisme dengan teologisme yang menjadi faktor determinan gagalnya sinkretisme antara Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (NIM) yang pernah dilontarkan oleh Soekarno.
Tetapi bila kita telaah secara gramatikal dan kontekstual, sindiran Karl Marx mungkin adalah sebuah kritik atas munculnya fenomena sektarianisme serta fanatisme yang berasal dari realitas empiris, jika banyak konflik yang berhulu dari perbedaan keyakinan. Salah satu konflik yang paling fenomenal itu adalah adanya Perang Salib (Crusades) antara kaum Muslim dan kaum Nasrani (11-17 M). Tanpa adanya penjelasan sejarah, apakah konflik itu murni karena perbedaan keyakinan (ubudiyah) atau semata-mata adanya perbedaan kepentingan (muamalah) antar pihak saat itu yang dibungkus dengan doktrin agama. Justru trauma sejarah itulah yang terus direproduksi sampai saat ini, sehingga menimbulkan gap antar umat beragama.
Upaya dialog antar agama yang dilakukan saat ini juga tidak ada yang menyentuh akar masalah terhadap konflik yang menghadirkan trauma sejarah itu. Bahkan beberapa ilmuwan besar justru berusaha merawat dendam sejarah itu dengan menggunakan hipotesa yang gegabah. Seperti misalnya yang diungkapkan oleh Samuel Hutington dalam bukunya, The Clash of Sivilization and The Remarking of World Order (1996).
Dalam bukunya itu Hutington mendeskripsikan jika pasca berakhirnya perang dingin terjadi benturan peradaban yang berlandaskan pada nilai-nilai agama, suku maupun ras (SARA). Sekilas hipotesa itu seakan benar berdasarkan bukti empirik dengan munculnya banyak konflik dan pertempuran yang bertransformasi dari konflik secara fisik menjadi konflik non fisik dengan munculnya kasus-kasus ujaran kebencian (hate speech) yang menguat secara siginifikan dalam beberapa waktu terakhir. Bahkan Huttington membuat hipotesa yang sangat provokatif yang menyatakan jika Islam adalah sebagai sebuah agama yang memiliki karakter sebagai aggression and hostility (agresi dan ancaman), terutama bagi peradaban Barat.
Ironisnya, tesis Hutington itu kini terbantahkan, karena saat ini nilai–nilai Islam justru banyak dipelajari oleh pemikir-pemikir, Eropa dan Amerika Latin. Secara akademis, saat ini banyak sarjana-sarjana Barat yang mengkaji Islam secara objektif, dengan menjadikan Al-Quran dan Hadits sebagai sumber pertama dan utama. Di Amerika Serikat misalnya, ada Prof. John L. Esposito dan Prof. Michael Fischer; di Jerman juga ada ahli sufi, Annemarie Schimmel dan Dr. Murad Hofmann; di Inggris pun ada Prof. Francis Robinson, Prof. Hastings, dan lain-lain. Bahkan teori keadilan yang diklaim oleh Havard Law School sebagai teori keadilan terbaik sepanjang masa justru berasal dari frasa yang sederhana dalam Al Qur’an terutama Surat An Nissa 135 yang menyatakan “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya,”.
Berawal dari realitas itu maka sangat menarik jika kita mau mengkaji pola relasi antar agama itu. Meski kita tidak bisa menutup mata, banyaknya konflik berbau SARA yang berhulu dari perbedaan kepentingan politik, ekonomi atau karena kesalahan tafsir dari nilai-nilai agama itu sendiri. Seperti misalnya hubungan antara Muslim dan Nasrani yang notabene adalah saudara sebagai sama-sama agama Samawi. Jauh sebelum lahirnya Nabi Muhammad SAW, konon dalam Injil Barnabas pernah disebutkan tentang akan hadirnya nabi terakhir yakni Nabi Muhammad SAW dengan ciri-ciri khusus yang dimilikinya dan kabar itu terkonfirmasi dengan pertemuan Muhammad SAW dengan Pendeta Buhaira (seorang Pendeta Kristen Nestorian) di Syam (Syiria).
Sebaliknya dalam Islam sendiri setiap Muslim wajib meyakini jika Isa AS putra Maryam atau yang lebih dikenal sebagai (Yesus) adalah salah satu dari 25 Nabi yang diturunkan oleh Tuhan. Bahkan Muslim juga harus meyakini jika Injil merupakan salah satu dari empat kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT selain Zabut, Taurat dan Al Qur’an. Dari sisi nilai dan ajaran sebenarnya banyak kemiripan diantara kedua agama itu, misalnya konsep zakat dalam Islam juga ada dalam Nasrani yang lebih dikenal dengan perpuluhan.
Yang tak kalah menarik, adanya hubungan historikal meski secara tidak langsung antara Islam yang lahir pada sekitar abad ke 6 dengan agama Hindu yang nota bene telah muncul sekitar 4000-6000 tahun sebelum masehi. Setidaknya berdasarkan hipotesa dari Pundit Vaid Parkash yang disiarkan di BIC News pada 8 Desember 1997 serta diterjemahkan oleh Mir Abdul Majeed, artikel ini pernah dimuat di The Message, edisi Oktober 1997.
Menurut tesis Pundit yang mengklaim telah membedah Kitab Weda dan kitab-kitab Hindu lainnya itu, maka disebutkan jika umat Hindu sebenarnya menunggu datangnya seorang “pembimbing dan pemimpin” yang disebut “Kalki Avatar”. Kalki Avatar/Kalki Awatara akan menjadi panutan umat manusia. Dalam paparannya Pundit menjelaskan ciri-ciri sosok pemimpin dan panutan itu diantaranya lahir pada tanggal 12 dari pasangan suami istri yang bernama Visnubhagat (hamba Tuhan) dan Ibu Bernama Sumani (kedamaian). Kalki Avatar itu memiliki makanan pokok kurma dan suka mengendarai unta dan mahir berkuda termasuk ciri-ciri fisik khusus.
Deskripsi yang dipaparkan oleh Pundit itu ternyata sangat mirip dengan Nabi Muhammad SAW yang lahir tanggal 12 Rabiul Awal dari seorang ayah bernama Abdullah (yang berarti hamba Allah) serta Aminah (yang berarti kedamaian). Muhammad SAW memiliki makanan pokok kurma serta sangat mahir berkuda termasuk sering mengendarai unta. Bahkan yang lebih spesifik bendasarkan tesis Pundit itu, Tuhan akan memberikan kuda kepada Kalki Avatar untuk naik ke langit tingkat 7 itu sama persis dengan Muhammad yang mengendarai bouraq untuk naik ke sidhrotul muntaha (langit tingkat 7) untuk menerima perintah sholat (isro’ mi’roj). Mungkinkah semua berita atau kabar yang terdapat di Weda dan Injil Barnabas itu adalah karangan manusia. Pasti semua itu adalah wahyu ilahi yang bisa menjadi pedoman bagi kehidupan umat manusia.
Uraian diatas tidak bermaksud menawarkan sinkretisme terhadap semua ajaran agama, karena itu bisa masuk kategori bid’ah dhollah serta bertentangan dengan surat Al Kafirun ayat 6, lakum dinukum waliyaddin (untukmu agamamu, untuku agamaku). Tetapi paparan diatas memperlihatkan jika pada tataran nilai-dan pada tataran konsep semua agama itu menawarkan kebaikan dan semua umat beragama itu bersaudara (kitorang basudara). Kalau bicara tentang kebenaran, itu sesungguhnya hanya Tuhanlah yang bisa menentukan. Dan kita tidak bisa memaksakan orang lain untuk mengikuti keyakinan kita. Bila Tuhan berkendak bisa saja menciptakan semua kaum dengan itu dengan satu keyakinan/agama. Namun Tuhan tidak melakukan itu tentu dengan berbagai dasar.
Karena pada hakekatnya semua perbedaan itu adalah fitrah manusia dan sesuai dengan Surat Al Hujurat ayat 13, Tuhan menciptakan manusia itu bermacam-macam, berjenis-jenis dan bersuku-suku untuk saling mengenal dan saling mengambil manfaat. Maka menghadapi momentum natal dan tahun baru 2021, demi ukhuwah wathoniah (persaudaraan sebangsa dan setanah air), tidak ada salahnya bila kita mengucapkan selamat natal dan tahun baru terhadap saudara-saudara kita yang Nasrani dengan catatan kita tidak ikut merayakannya.***
Candu keren juga ya.. ?
hehehe
kami tunggu arahan dari Bang Ahmad …hehehe