Oleh : Gugus Elmo Rais
Melihat keindahan alam serta kecantikan paras dan budi urang-urang Sunda, fenomolog dan psikolog Martinus Antonius Weselinus Brouwer atau yang biasa dipanggil M.A.W. Brouwer membuat ungkapan yang menarik. Budayawan kelahiran Kota Delf, Belanda itu mengungkapkan jika Tuhan sedang tersenyum saat menciptakan Kota Bandung dan tanah Pasundan. Ungkapan Brouwer berdasarkan kekagumannya akan keindahan alam Bumi Pasundan serta keindahan budi pekerti urang Sunda yang memang dikenal sangat santun dan ramah.
Tetapi Brouwer itu hanya melihat dalam spektrum yang lebih sempit karena faktanya Tuhan sedang tersenyum bukan saja saat menciptakan Bumi Pasundan, tetapi juga saat menciptakan Bumi Nusantara, yang sangat kaya dengan budaya serta keindahan alam yang dimilikinya. Tak ada satupun negeri di kolong langit yang memiliki kekayaan alam dan budaya melebihi Nusantara atau Indonesia. Berdasarkan data BPS, Nusantara tercatat memiliki sekitar 714 suku dan 1001 bahasa yang tersebar di 13.000 pulau.
Tidak hanya keramahan masyarakat serta keindahan alam yang dimilikinya, Nusantara atau Indonesia juga kaya dengan falsafah budaya adi luhung dari kearifal lokal yang menjadi kebanggaan lokal (local wisdom and local prouds). Uniknya, falsafah tentang cinta, kemanusiaan dan persatuan itu lahir sebelum munculnya kesadaran nasional (national guest), kehendak nasional (national will) dan perjuangan nasional (national daad).
Dalam foklor Aceh ada peribahasa yang cukup terkenal, Gaseh, menyoe hana peu ta bri, hana leumah (cinta itu ketika tidak memberikan apa-apa kepadanya, tidak terlihat. Cinta adalah sesuatu yang amat indah, sebab ia akan membawa kepada kasih sayang). Para opung dalam tradisi Batak juga punya falsafah yang memiliki doktrin nasionalisme yang kental, Ingkon sada do songon dai ni aek, unang mardua songon dai ni tuak,(setiap orang harus memiliki rasa persatuan yang tinggi meskipun hidup di dalam berbagai macam perbedaan pandangan dengan orang lain, jangan saling terpecah belah. Atau sama maknanya dengan bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh).
Ninik mamak urang Awak (Minang Kabau) juga memiliki falsafah tentang persatuan yang sangat doktrinal, Bapuntuang suluah sia, baka uoeh racun sayak batabuang, paluak pangku adat nan kaka kalanggik tuah malangguang (kalau ajaran adat Minang Kabau benar-benar dapat diamalkan oleh anggota masyarakat, maka masyarakat itu menjadi masyarakat yang tinggi peradabannya dan kuat persatuannya).
Sementara dari tanah Jawa juga ada falsafah tentang persatuan dari dua suku besar yakni Jawa dan Sunda. Dalam budaya Jawa ada falsafah yang membawa semangat persatuan seperti guyup agawe santoso (bersatu membuat kita kuat), sugeng kerto raharjo gemah ripah loh jinawi (ketentraman membawa kesejahteraan dan kemakmuran). Sedangkan dalam budaya Sunda juga ada falsafah yang membawa semangat persatuan dan saling menjaga Kudu silih asih silih asah jeung silih asuh (saling mengasihi, saling mengajari dan saling menjaga satu sama lain).
Dan falsafah untuk menjaga lisan agar persatuan tetap terjaga, Kudu ngaragap haté batur ari nyarita téh ulah ngeunah éhé teu ngeunah éon (harus mengerti perasaan orang lain, kalau berbicara jangan seenaknya). Dari tanah Kawanua juga ada falsafah yang sudah cukup terkenal yakni Kitorang basudara (kita semua bersaudara). Dalam perspektif teologis falsafah dan semangat persatuan itu semakin direkatkan dengan adanya sebuah ayat dalam Al Qur’an, QS Al Imran 103, ”Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk,”..
Keragaman falsafah dari budaya lokal serta norma agama itulah yang melahirkan cinta terhadap tanah air (hubbul wathan) dan dihimpun melalui proses politik yang berhulu dari munculnya kesadaran nasional (national guest) sekaligus kemauan nasional (national will) melalui peristiwa Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928. Peristiwa politik yang menandai lahirnya kehendak bersatu (le desir de’etre ensemble), seperti tesisnya Otto Bauer dan Karl Renan sebagai fase mulai tumbuhnya nasionalisme seperti tesisnya Adreas Andrew Gellner, sebagai sebuah doktrin dan gagasan imaginer yang bisa merasuki siapa saja hingga menjadi suatu kekuatan untuk mempertahankan suatu komunitas (bangsa) dari kemungkinan gangguan dari luar. Hipotesa inilah yang digunakan oleh Soekarno untuk menghimpun dan menyatukan ribuan suku dan bahasa menjadi satu Negara yakni Indonesia seperti yang termakthub dalam bukunya Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (NIM) 1928.
Soempah Pemoeda inilah salah satu fase terpenting sejarah bangsa Indonesia yang merupakan transisi dari munculnya kemauan nasional (national will) menjadi perjuangan nasional (national daad), melalui perjuangan secara fisik dan diplomatik secara bersama-sama untuk memerdekakan Bangsa Nusantara dari belenggu penjajahan. Dan puncaknya adalah pada tanggal 17 Agustus 1945 di mana dwitunggal Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia mengikrarkan diri sebagai bangsa yang merdeka dari segala bentuk penjajahan. Kemerdekaan itu memiliki pondasi ideologis yakni Pancasila dan UUD 1945. Sebuah falsafah yang merupakan intisari dari peradaban yang beragam itulah yang membentuk bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki karakter (national character) sebagai bangsa yang guyub dan rukun serta memilki budaya gotong royong.
Jika Indonesia bangun dan bangkit melalui proses politik yakni Soempah Pemoeda, saat ini Indonesia justru terancam disintegrasi karena adanya kepentingan politik masing-masing kelompok. Syahwat politik yang nyaris tak terkendali itu seakan memperoleh kanal dengan adanya sistem demokrasi yang liberal, pasca terjadinya proses reformasi dan amandemen terhadap UUD 1945. Nasionalisme warisan Seokarno serta cinta tanah air sebagai iman (hubbul wathan minnal iman) yang dicetuskan oleh KH Hasyim serta merupakan salah satu fatwa ulama dari Jamiatul Kheir, kini nyaris tanpa makna. Padahal Soekarno sempat mewanti-wanti, jangan sampai kita melupakan sejarah (Jasmerah).
Reformasi telah membuka gerbang liberalisme politik, baik melalui sistem multi partai maupun Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung. Sistem ini telah meninggalkan konstitusi lama, yang menyatakan kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh lembaga perwakilan (MPR). Implikasinya kini sangat menyedihkan, liberalisasi politik itu membuat masyarakat pemilih terfragmentasi menjadi dua kelompok yang saling berhadap-hadapan. Dan faktanya hingga saat ini para pihak terbukti masih baper dan belum move on sepenuhnya.
Sikap saling sindir dan saling hujat yang berbau rasis kini terlihat marak di Medsos maupun berbagai forum yang menafikan fatsoen (tata krama) demokrasi. Padahal para founding father’s kita telah mengamanahkan agar mengedepankan musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan. Kini para politisi lebih suka mengambil sikap pragmatis dengan menggunakan mekanisme voting.
Bahkan kini muncul fenomena jika para pihak terlihat tidak mampu berpikir jernih dan bersikap obyektif dalam menyikapi setiap peristiwa yang muncul. Seharusnya setiap pihak mampu bersikap adil dan berpikir jernih dalam menyikapi setiap dinamika yang terjadi di masyarakat. Karena dalam sistem demokrasi dan terbuka seperti saat ini mustahil ada satu kekuatan yang sepenuhnya bersikap dzolim ataupun sebaliknya tidak ada satupun kelompok yang benar-benar bersih. Dalam demokrasi terjadi sikap saling koreksi. Tetapi hendaknya sikap saling koreksi itu harus dijalankan secara elegan dan bermartabat, bukan sekedar sarana untuk mengumbar kebencian, karena Islam sendiri telah mengajari kita untuk selalu bersikap adil dan proporsional,“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.QS, Almaidah, (8).
Tetapi faktanya masih banyak pihak yang tidak mampu menahan diri. Suatu kondisi yang sesungguhnya tanpa kita sadari telah menjerumuskan kita dalam proxywar yang merupakan transformasi dari politik devide et impera (politik pecah belah) di era kolonial. Esensi dari sistem demokrasi adalah tercipta kondisi chek and balance, baik yang dilakukan oleh parlemen maupun oleh masyarakat umum, serta Ormas-Ormas dan NGO yang dikanalisasi melalui pers sebagai pilar demokrasi ke empat seperti tesisnya Thomas Jefferson maupun Karl Raymond Propper. Sehingga terbuka ruang setiap elemen masyarakat terlibat urun rembug dalam setiap proses pembuatan kebijakan. Bukan justru terbukanya ruang untuk saling caci menggunakan sentiment rasisme seperti yang terjadi akhir-akhir ini.***