Samarinda, Pro Legal News – Deklarasi Kesepakatan Pembangunan Hijau pada Mei 2016 lalu kini memasuki babak baru, dengan pengembangan jejaring. Salah satunya dengan cara melakukan lokakarya Di Samarinda.“Lokakarya ini bertujuan membangun komunikasi, koordinasi dan pertukaran pengalaman terhadap berbagai inisiatif model pembangunan hijau,” ujar Ketua Kelompok Kerja Green Growth Compact-Dewan Daerah Perubahan Iklim Prof. Soeyitno Soedirman dalam Lokakarya Jejaring Pembelajaran Kesepakatan Pembangunan Hijau Kalimantan Timur, di Samarinda, Senin, 25 Juni 2018
Banyak pihak yang terlibat dalam deklarasi Kesepakatan Pembangunan Hijau di Kalimantan Timur itu. Sehingga memandu dalam membangun kebijakan, rencana kerja, dan melaksanakan kegiatan berdasarkan peraturan yang berlaku (wajib) dan standar terbaik (sukarela). Kesepakatan ini merupakan upaya dan wadah untuk mempercepat pencapaian konsep Kaltim Hijau yang sudah menjadi komitmen Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sejak 2010 silam untuk transformasi ekonomi menjadi berkelanjutan.
Kalimantan Timur melakukan transformasi ekonomi sejak terjadinya pengubahan tren pertumbuhan ekonomi. Dari pertumbuhan ekonomi 7,42 persen di tahun 1970an dengan mengandalkan industri kayu, beralih ke gas bumi dengan angka pertumbuhan ekonomi 5,41 persen di tahun 1990an, menjadi 3,94 persen di akhir 1990an dari batu bara. Angka pertumbuhan ekonomi yang terus menurun itulah menyadarkan pemerintah provinsi untuk mengubah arah pembangunan ekonomi. Ekstraksi sumber daya alam yang masif, menurut Ketua Harian Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kaltim Prof. Daddy Ruhiyat tidak bisa diandalkan lagi untuk menyokong Kalimantan Timur.
Daddy menjelaskan bahwa dampak ekstraksi sumber daya yang tidak terbarukan, tidak hanya mengenai pertumbuhan ekonomi belaka. Tapi, ia melanjutkan, pengaruhnya sampai ke kesempatan kerja, dampak sosial serta dampak lingkungan. Kalimantan Timur dilanda sejumlah bencana, mulai dari kebakaran hutan, longsor, banjir hingga kekeringan. Beranjak dari situasi tersebut, Daddy menambahkan, Kalimantan Timur memutuskan untuk menetapkan status sebagai Provinsi Hijau dengan slogan Kaltim Green. “Pemerintah provinsi memutuskan transformasi ekonomi dari yang berbasis SDA takterbarui menjadi SDA yang dapat terbarui, dalam wujud pertanian yang diperluas,” ujarnya.
Serangkaian peraturan pendukung, kelembagaan dan rencana pembangunan berbasis lingkungan kemudian perlahan dilegalisasi. Hingga akhirnya lahir gagasan Kesepakatan Pembangunan Hijau (Green Growth Compact) pada Mei 2016. Kesepakatan ini kemudian diejawantahkan menjadi tujuh inisiatif model. Tahun 2018, inisiatif model ini telah berkembang menjadi sembilan.
Kesembilan inisiatif model tersebut adalah: penurunan emisi melalui skema Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), pencapaian target Perhutanan Sosial di Kalimantan Timur seluas 660.782 hektare, penguatan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) untuk koridor orangutan di Bentang Alam Wehea-Kelay, pengembangan kemitraan Delta Mahakam, Program Karbon Hutan Berau (PKHB), pengembangan Perkebunan berkelanjutan, Kampung Iklim, dan pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun
Bertambahnya inisiatif model tersebut, menuntut para pihak yang terlibat (pemerintah, dunia usaha, pemerhati lingkungan dan masyarakat) untuk berjejaring dan berbagi pengalaman. Jejaring tersebut diharapkan memudahkan koordinasi dan mempercepat pencapaian tujuan bersama. Misalnya, pendekatan terhadap petambak di Delta Mahakam, bisa diterapkan pula untuk pendekatan pekebun sawit dalam inisiatif pengembangan perkebunan berkelanjutan. Atau kasus kebakaran lahan dan kebun bisa menjadi materi pelatihan untuk pengelolaan KEE di Wehea-Kelay. Manajer Senior The Nature Conservancy Indonesia untuk Kalimantan Timur Niel Makinuddin mengatakan sejumlah langkah akan dilakukan untuk memperkuat jaringan GGC. Antara lain adalah dalam setiap inisiatif model dibuat infografisnya, publikasi hingga lembar kerja lengkap dengan linimasanya. Jejaring ini kemudian akan menggelar lokakarya setiap enam bulan sekali untuk saling belajar antar inisiatif model dan penguatan organisasi pendamping. Altazri