Oleh : Gugus Elmo Ra’is
Bangsa Indonesia memiliki kelebihan komparatif berupa sumber daya alam yang melimpah, populasi yang mencapai sekitar 270 juta jiwa plus bila tanpa pandemi memiliki kemampuan daya beli yang cukup memadai, serta pasar tenaga kerja yang murah dan melimpah. Bagi investor manapun, Indonesia tak ubahnya seperti gadis cantik dan sexy yang menarik buat siapapun. Setidaknya berdasarkan data BKPM sepanjang tahun 2019 (Januari-Desember) lalu realisasi investasi sebesar Rp 809,6 triliun atau 102,2 persen dari target realisasi investasi tahun 2019 sebesar Rp792 triliun.
Tetapi bila berbagai kelebihan itu tidak dikelola dengan baik dengan berbagai langkah inovasi maka bencana tinggal menunggu waktu. Bencana ekonomi dalam bentuk langkanya investasi yang pada gilirannya tidak adanya lapangan kerja baru. Karena sudah sering muncul keluhan dari kalangan investor, bila regulasi yang ada sangat rumit serta birokrasi yang berbelit-belit dan ‘banyak meja’ yang harus dilalui. Dan fenomena, ‘tidak nyamannya’ iklim investasi yang ada di Indonesia itu terlihat dengan banyaknya relokasi industri dari Indonesia ke berbagai negara seperti Vietnam dan Kamboja. Maka pemerintah harus segera melakukan langkah antisipatif bila ingin label sebagai negeri surga investasi itu tetap tersemat di dada Garuda.
Rantai birokrasi dalam proses perizinan investasi di Indonesia selama ini dikeluhkan karena terlalu panjang dan banyak pihak berkepentingan yang berharap dapat ‘uang kutipan’ dari proses perizinan. Selain stakeholuder yang bejibun persoalan yang tak kalah pelik adalah banyaknya peraturan yang harus ditaati sehingga membuat para investor puyeng dan ogah menanamkan fulusnya di tanah air. Hingga saat ini belum ada literatur resmi yang menyatakan berapa jumlah total undang-undang yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia, tetapi banyak yang meyakini jumlahnya mencapai ribuan undang-undang. Maklum DPR era reformasi ini semakin getol bikin UU baru melalui Program Prolegnas, konon pada periode 2015-2019 lalu saja setidaknya ada 160 RUU yang digodok oleh DPR.
Disisi lain pasca terbitnya UU No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah sebagai antitesa dari sistem pemerintahan sentralistik selama Orde Baru melahirkan kerumitan baru. DPRD baik tingkat I maupun tingkat II semakin doyan bikin Peraturan Daerah (Perda) yang dinilai akan memberikan benefit bagi daerahnya masing-masing. Disinilah problemanya, minimnya sosialisasi setiap RUU karena mengandalkan fiksi hukum jika semua orang dianggap tahu (persumption iures de iure), mengakibatkan banyak produk peraturan dan perundang-undangan baru yang saling bertubrukan.
Bahkan Presiden Jokowi sempat menyebut sekitar 1700 peraturan yang saling bertabrakan atau terjadi disharmoni. Dampaknya menimbulkan kesan, jika pemerintah tidak konsisten sehingga menghambat proses investasi. Karena kondisi itulah banyak komitmen investasi yang akhirnya batal karena birokrasi yang rumit dan berbelit–belit. Konsideran itulah yang memunculkan gagasan pemerintah untuk menerbitkan UU Sapujagat (Omnibus Law). Setidaknya ada 74 UU yang disasar dan mau ‘dilebur’ agar terjadi harmonisasi dan keselerasan peraturan sehingga tercipta kepastian hukum dan ramah investasi, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keinginan dan konsideran itu terdengar sangat indah, semua demi kepentingan bangsa dan negara. Hingga pada tataran konsideran ini, pemerintah layak mendapat apresiasi karena berani membuat terobosan hukum. Tetapi persoalannya pemerintahan ini juga sering lupa bahwa menyusun ayat-ayat yang akan mengatur hajat hidup rakyat itu harus disosialisasikan dulu. Setidaknya ketika RUU itu masih berupa draft atau naskah akademik, perlu disosilaisasikan ke masyarakat luas.
Dan yang perlu digaris bawahi sosialisasi itu terutama pada pointers-pointers krusial seperti hak-hak buruh itu tidak hanya kepada para stakeholuder saja seperti kalangan dunia usaha, organisasi buruh, DPR dan wakil pemerintah saja, tetapi juga harus melibatkan masyarakat luas. Yang tak kalah penting, juga kalangan mahasiswa sekaligus cerdik pandai agar mereka ikut berpartisipasi urun rembug mana yang pantas atau tidak. Sekaligus tahu substansi UU yang akan disahkan pemerintah tidak hanya bisa bersembunyi dibalik fiksi hukum jika semua elemen masyarakat dianggap tahu (persumption iures de iure).
Karena pembahasan UU terutama terhadap isu-isu yang popular seperti RUU Perburuhan (Omnibus Law), RUU KPK, UU KUHP selalu akan direspon oleh masyarakat luas terutama kalangan mahasiswa sebagai bagian dari proses aktualisasi diri. Sekaligus rawan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang oportunis serta ingin memperoleh benefit secara politik.Semestinya kita belajar dari kesalahan-kesalahan sebelumnya seperti dalam proses pembahasan RUU KPK dan RUU KUHP yang menimbulkan peristiwa anarki di berbagai tempat. Berbagai tindakan anarki itu sebenarnya bisa diminimalisir, jika pemerintah dan DPR mau bersabar untuk melakukan sosialisasi tentang draft atau RUU itu. Pengesahan UU itu bisa dilakukan jika sebagian besar masyarakat sudah benar-benar paham dengan subtansi RUU itu. Bukan justru sebaliknya, senang main ‘di tikungan’, seperti disaat bangsa ini sedang konsentrasi melawan pandemi, justru UU itu disahkan sehingga melahirkan banyak spekulasi serta kegaduhan.
Sekalipun pemerintah mengklaim telah melakukan sosialisasi RUU Cika (Omnibus Law), nyatanya pesan itu belum sampai ke masyarakat dengan bukti munculnya banyak hoaxs tentang isi RUU itu. Bahkan setiap memberikan penjelasan berbagai pihak seperti Kemenaker dan DPR pun terkesan sele gence (berbeda-beda) dan membuat masyarakat semakin bingung. Maka responnyapun beragam. Sekaligus menunjukkan jika sosialisasi itu gagal total.
Salah satu cara sosialisasi RUU yang efektif adalah melakukan presentasi ke masyarakat melalui beberapa media elektronik tentu dengan menggunakan berbagai indicator misalnya rating TV yang bersangkutan juga harus cukup baik dan bukan melalui media odong-odong. Sehingga efektivitas sosialisasi itu bisa terukur dan tidak sekedar menggugurkan tugas untuk mengikuti prosedur. Dan pemerintah juga tidak perlu berdalih jika sosialisasi itu mahal dan tidak efektif.
Sekarang bila kita breakdown biaya pengamanan terhadap para pendemo yang katakanlan dianggap sebagai orang yang ‘gagal paham’ terhadap isi RUU itu tanpa mengesampingkan adanya pihak yang mendompleng isu tersebut, yang bila diestimasi mencapai puluhan hingga ratusan milyar pasti jauh lebih mahal daripada biaya blocking time di beberapa stasiun TV sekalipun yang masuk kategori prime time.
Kerugian lain yang tak kalah miris adalah, kerugian psikologis yang diderita oleh aparat Kepolisian. Setelah pontang-panting mengamankan aksi demo sesuai dengan Tupoksinya untuk mengendalikan gangguan Kamtibmas berdasarkan UU No 2 tahun 2002, tetapi aparat kepolisian alih-alih mendapat sanjungan dan pujian tetapi justru mendapat tuduhan sebagai alat kekuasaan ketimbang alat negara untuk menyelamatkan negara dari kemungkinan terjadinya amuk massa.***