- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Kejahatan Oleh Legislatif Dalam UU Cipta Kerja

Oleh : Dr. Azmi Syahputra, S.H., M.H

Cipta Kerja diundangkan dengan nomor 11 tahun 2020. Salinan naskah Undang-undang Cipta Kerja itu Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (CK), Senin (2/11). Undang-undang telah resmi diunggah oleh pemerintah dalam situs Setneg.go.id. UU Cipta Kerja  memuat 1.187 halaman.Artinya dengan tindakan ini Presiden tetap menadatangani UU CK tanpa menyisir kembali isi detail dan konsekuensi hukum isi pasal pasal Bab X  UU CK

Terkait bab “pemerintah pusat dan kemudahan proyek strategis nasional”

yang jelas ini, kini menjadi klausul “kejahatan oleh legislatif”. Penulis menggunakan istilah yang pernah dipergunakan begawan ilmu hukum Prof Satjipto Rahardjo yang dengan tegas menyebut istilah telah terjadi “kejahatan oleh legislatif”.

Kejahatan legislatif adalah keinginan dan tindakan legislatif yang sama dengan eksekutif dan karenanya menodai janji suci untuk mewakili rakyat dalam mencegah kesewenang wenangan, malah menjebol konstitusi dan mengobral Undang undang. Karena bila  menyisir dan menganalisis isi pasal -pasal dalam  bab X UU CK pasti akan menjadi potensi masalah dalam implementasinya terutama pada hukum keuangan negara.

Malah dalam pasal – pasal bab X ini memuat aturan yang mencabut undang undang yang jadi dasar penguatan  melindungi uang negara dan aset negara (Pasal 164  ayat 2 UU CK,  dan penjelasan pasal 164 ayat 2.),” sepanjang diatur dalam uu ini, ketentuan peraturan perundang undangan yang mengatur mengenai pengelolaan keuangan negara, kekayaaan negara dan atau badan usaha milik negara tidak berlaku bagi lembaga”. (Vide Penjelasan pasal 164 ayat 2 UU CK)

Dengan membuat ketidakberlakuan peraturan perundang undangan terkait yang mengatur pengelolaan keuangan negara/kekayaan negara/badan usaha milik negara bagi lembaga investasi yang dibentuk UU CK, karena dalam UU ini segala kegiataan pengelolaan asset dan investasi telah diatur secara khusus dalam UU cipta kerja  dan peraturan pelaksanaannya dengan mengenyampingkan UU keuangan negara.

Maka jelaslah  niatnya sudah menunjukkan adanya iktikad kurang baik dalam penerapan good governance, penyusun UU dalam hal ini peran serta legislatif dengan ikut serta menyetujui dan memasukkan isi pasal pasal yang disusun dengan cara pengabaian hukum keuangan negara begini, telah nyata-nyata menyimpangi dari tujuan negara, karena tujuan negara selalu terkait dengan hukum keuangan negara yang memuat kaidah hukum untuk mengelola keuangan negara, karena tanpa keuangan negara berarti tujuan negara tidak dapat terlaksana sehingga hanya berupa cita cita hukum belaka.

Sehingga larangan  bagi pemerintahan membuat regulasi atau kebijakan yang menyimpang dari undang undang yang terkait dengan keuangan negara, dan faktanya sangat jelas diketahui dari isi pasal pasal bab X UU CK, sepanjang mengatur lembaga pengelola investasi, materi pasal pasalnya sangat jelas mendepak UU keuangan negara.

Isi dan bunyi pasal atau klausula demikian memperlihatkan pembuatan undang undang dibuat secara serampangan tidak klik utuh dalam tujuannya dan nyata telah mengeyampingkan amanah UUD 1945.

Artinya jika ini tetap dijalankan maka pemerintah gagal mengamankan keuangan negara sebagai harta  kekayaan dan pendapatan negara yang sah secara yuridis dan bila ini terjadi Presiden ataupun anggota legislatif dianggap tidak melaksanakan sumpah dan janjinya dalam melaksanakan pemerintahan dengan membiarkan dan membuat aturan yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara, karena hukum keuangan negara memiliki kedudukan yang sentral terhadap negara dalam upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Meskipun demikian apa yang menjadi keresahan akademik penulis sebagaima telah diuraikan, guna memberikan ruang dialetika yang seimbang karena  kenyataannya masih ada pihak yang pro dan kontra terhadap pengesahan UU CK ini maka  selain menanti harapan pengujian secara materil dan formil di Mahkamah Konstitusi, semestinya Pemerintahan dapat lebih bersikap bijaksana dan memberikan ruang partisipasi dalam memberlakukan hukum, dalam hal ini melalui tahapan proses legislasi yang semestinya haruslah mempertimbangkan secara arif suara masyarakat yang muncul apalagi berkait hal hal yang mendasar, karena kedaulatan ada pada rakyat yang diwakilinya, karena tanpa mengakomodasi suara rakyat, hukum akan kehilangan keabsahan sosiologis. Dan jika hukum sudah kehilangan keabsahan atau landasan sosiologisnya, hukum justru akan dapat menimbulkan konflik di dalam masyarakat.

Penulis adalah : Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Karno.

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan