Jakarta, Pro Legal News – Berdasarkan keterangan dari Kejaksaan Agung, skandal korupsi pengadaan pesawat PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk berawal dari bocoran rencana proyek tersebut yang dilakukan mantan Direktur Utama Emirsyah Satar.
Dalam kasus tersebut, penyidik menduga Satar menerima gratifikasi dari Direktur PT Mugi Rekso Abadi Soetikno Soedarjo sehingga membocorkan rencana tersebut untuk memenangkan salah satu pihak. “Tersangka ES membocorkan rencana pengadaan pesawat kepada tersangka SS dan hal ini bertentangan dengan Pedoman Pengadaan Armada (PPA) milik PT Garuda Indonesia,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana kepada wartawan, Senin (27/6).
Ketut mengatakan, Emirsyah Satar bersama dengan direksi yang lain kemudian memerintahkan tim pemilihan untuk membuat analisis dengan menambahkan sub kriteria baru menggunakan pendekatan Nett Present Value (NPV).
Menurutnya, upaya itu dilakukan agar perusahaan Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 memenangkan proses pengadaan pesawat dan dipilih oleh perusahaan pelat merah itu. “Instruksi perubahan analisa yang diinstruksikan kepada tim pemilihan adalah untuk menggunakan analisa yang dibuat oleh pihak manufaktur yang dikirim melalui tersangka SS,” jelasnya.
Proses bermasalah itu, tak lepas dari pengaruh Soetikno Soedarjo yang intens melakukan komunikasi dengan Emirsyah Satar dan pihak manufaktur. “Tersangka (Soetikno Soedarjo) menjadi perantara dalam menyampaikan gratifikasi dari manufaktur kepada tersangka ES dalam proses pengadaan pesawat bombardir CRJ-1000 dan ATR 72-600,” ujarnya.
Kasus korupsi yang menjerat Emirsyah di Kejagung itu diduga telah merugikan keuangan negara hingga Rp 8,8 triliun. Rencana Jangka Panjang perusahaan (RJPP) periode 2009 hingga 2014 semula merealisasikan beberapa jenis pesawat dalam pengadaan, yakni 50 unit pesawat ATR 72-600. Dimana lima diantaranya merupakan pesawat yang dibeli.
Kemudian, 18 unit pesawat lain berjenis CRJ 1000. Dimana, enam di antara pesawat tersebut dibeli dan 12 lainnya disewa. Namun demikian, diduga terjadi peristiwa pidana yang menimbulkan kerugian keuangan negara dalam proses pengadaan atau penyewaan pesawat tersebut. Kejagung menduga, proses tersebut menguntungkan pihak Lessor.(Tim)