Oleh : Gugus Elmo Rais
Kasus meninggalnya Brigadir Novriansyah Josua Hutabarat (Brigadir J), adalah salah satu bentuk tindak pidana umum yang istimewa. Sebagai delik umum, sudah menjadi tanggung jawab negara melalui aparat kepolisian sesuai amanah Undang-Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian untuk mengungkap secara tuntas kasus itu hingga ke proses persidangan, agar para pelaku mempertanggung jawabkan perbuatannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga korban dan keluarganya mendapat keadilan sekaligus memberikan effek jera (detterent effecks) bagi masyarakat.
Keistimewaan kasus ini adalah korban maupun para terduga pelaku adalah orang-orang yang berada di inner circle (lingkaran dalam) elit Kepolisian yang seharusnya mendapat jaminan keamanan yang maksimal (security maximum act). Sosok yang seharusnya menjadi benchmark Kepolisian dalam menghadirkan keamanan dan kenyamanan di masyarakat, tetapi ternyata bobol. Keistimewaan kedua, kasus ini mendapat atensi yang luar biasa dari masyarakat termasuk orang nomor satu di republik ini, Presiden Jokowi, pasti bermula dari sosok-sosok yang diduga terlibat tersebut. Sementara keistimewaan ketiga adalah, terlibatnya hampir semua lembaga terkait mulai dari Timsus Polri, Komnas HAM, Kompolnas, LPSK dll.\
Maka kemampuan dan kemauan penyidik Polri untuk mengelaborasi tentu sesuai dengan KUHAP, mulai dari hasil autopsi, capture CCTV, keterangan saksi-saksi, jejak digital termasuk hasil uji balistik menjadi kunci untuk membangun konstruksi hukum yang obyektif dan utuh. Keberadaan Komnas HAM sebagai lembaga yang menghasilkan second opinion memiliki peran yang krusial sebagai salah satu referensi, setidaknya sebagai pembanding dari hasil penyelidikan Tim Khusus yang telah dibentuk oleh Kapolri. Sehingga proses penyidikan itu bisa benar-benar berjalan secara obyektif dan independen sesuai dengan jargon Presisi yang merupakan singkatan dari prediktif, responsibilitas, transparasi, dan berkeadilan yang membuat pelayanan dari kepolisian lebih terintegrasi, modern, mudah, dan cepat.
Atensi publik yang luar biasa bahkan cenderung menjadi penghakiman tersendiri (trial by opinion) setidaknya telah membawa pengaruh tehadap perubahan konstruksi hukum, yang semula diklaim sebagai korban tembak menembak antara Brigadir J dengan Bharada E. Namun saat ini Bharada E telah ditetapkan sebagai tersangka sekaligus menggugurkan alasan pembenar dan alasan pemaaf seperti yang telah diatur dalam pasal 49 ayat 1 KUHP tentang tindakan membela diri serta alasan pemaaf seperti yang diatur dalam pasal 50 KUHP tentang perintah undang-undang karena memang dalam hal-hal tertentu aparat kepolisian memiliki diskresi (kewenangan) untuk ambil tindakan.
Maka pertanyaan selanjutnya, setelah Bharada E ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat menggunakan pasal 338 juncto pasal 55 tentang turut serta maka status Bharada E telah menjadi orang suruhan (medepleger). Tantangan selanjutnya penyidik harus mampu mengungkap siapa lagi yang terlibat sekaligus siapa yang menjadi otak pelaku (doenpleger). Jika itu bisa terungkap secara otomatis konstruksi hukumnya juga harus berubah dari pembunuhan biasa menjadi pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Karena mustahil jika instruksi dari doenpleger ke medepleger itu bersifat spontanitas, tetapi pasti melalui proses perencanaan.
Disinilah terlihat ada barrier yang tebal, tetapi setidaknya dengan penetapan Bharada E sebagai tersangka bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar rangkaian kasus itu serta mengungkap siapa dalang dibalik aksi penembakan itu sekaligus memgetahui motif dari pembunuhan itu (actus reus) serta membangun konstruksi hukum yang utuh dan obyektif, sehingga Polri bisa benar-benar dikatakan profesional dan independen.
Keberhasilan Listyo Sigit dalam menuntaskan kasus ini bisa menjadi salah satu ukuran baginya untuk bisa membuktikan slogan Presisi yang telah digagasnya sekaligus menjadi salah satu benchmark dari tekadnya untuk mewujudkan asas persamaan di depan hukum (equality before the law) serta membantah stigma negatif dalam masyarakat, ‘hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah’.
Kasus ini menjadi pelajaran yang istimewa dalam proses penegakan hukum (law enforcement). Setidaknya bagi independensi Polri bila yang terlibat melakukan pelanggaran hukum adalah orang memilki jabatan yang strategis, Polri harus menjalankan SOP secara konsekuen. Sehingga publik percaya dengan kredibilitas Polri.
Kepercayaan publik akan terlihat dengan tidak banyaknya spekulasi yang berkembang melalui media. Sebaliknya dalam kasus tersebut terlalu banyak spekulasi yang berkembang. Dengan data-data yang bersifat sekunder dan tersier, pemberitaan media dalam kasus Brigadir J cenderung hiperbola (bombastis dan berlebihan). Kondisi jelas tidak sehat dan menurunkan marwah dan martabat Polri sebagai institusi yang berada di garda terdepan dalam menegakan supremasi hukum.
Penghakiman melalui opini (trial by opinion) itu tidak saja dialami oleh lembaga Polri, tetapi juga terhadap keluarga orang-orang yang berada dalam pusaran kasus. Secara psikologis jelas itu akan sangat berdampak. Semestinya semua pihak menghormati asas praduga tak bersalah (persumpsion of innoncene), sehingga adanya proses hukum yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (incrach).
Kata kuncinya tetap kembali, pada proses penyidikan yang dilakukan oleh Polisi sehingga kasus itu cepat terungkap secara tuntas untuk menjawab keingin tahuan publik. Dengan cepat terungkapnya kasus tersebut, selain bisa mengembalikan martabat dan marwah Polri, juga bisa menutup anasir-anasir politis dan non teknis. Seperti mulai berhembusnya angin yang mendesak Kapolda Metro Jaya untuk mundur, bermula dari pelukan seorang senior kepada yuniornya. Dan karena kasus ini istimewa, bukan tidak mungkin, jika interval waktu penyelesaian kasus itu memanjang kan memunculkan hembusan angin yang akan menerpa Kapolri Listyo Sigit Prabowo serta Presiden Jokowi.***