- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Kalkulasi Politik Kunjungan Prabowo ke Pentagon

Ilustrasi (rep)

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

 Kunjungan Menteri Pertahanan RI  Prabowo Subianto ke Pentagon untuk bertemu Menteri Pertahanan AS, Lloyd J Austin, 24 Agustus 2023 lalu sangat menarik untuk ditelaah. Jika materi pertemuan bilateral itu salah satunya adalah untuk membahas manuver Singkek Xi Jinping di perairan  laut China Selatan, maka sesungguhnya langkah Prabowo itu adalah cara yang cerdas dalam menggunakan otoritasnya setelah sebelumnya melontarkan proposal perdamaian antara Rusia dan Ukraina. Dengan langkah itu Prabowo bisa menunjukkan komitmen nasionalismenya terutama untuk kepentingan politik domestik lebih tepatnya  untuk konsumsi bagi calon pemilih dalam Pilpres 2024 nanti. Langkah Prabowo itu memiliki timing dan momentum yang pas untuk menawarkan gagasan tentang nasionalisme ketika Capres lain baru sebatas berwacana. Tetapi Prabowo  juga harus melakukan kalkulasi politik yang matang dalam menentukan langkahnya, karena selain benefit politik ada juga potensi terjadinya delegitimasi yang akan dideritanya bila terlalu dekat ke Pentagon.

Melihat sikap Tiongkok yang  selalu ‘jail’  terhadap Indonesia dengan sering melakukan manuver di Kepulauan Natuna, melahirkan pertanyaan besar. Dalam berbagai forum, Beijing sering mendeklar jika RI adalah mitra yang strategis, dengan memperlihatkan itikadnya menjalin kerja sama  melalui konsep belt and road inisiatif  dalam membangun berbagai macam infrastruktur di Indonesia. China selalu menawarkan pinjaman lunak untuk pembangunan infrastruktur dengan syarat memperkerjakan warganya serta melakukan debt to swab jika proyek itu tidak profitable.

Tetapi di sisi lain Beijing  juga tidak pernah bosan untuk mengganggu kedaulatan RI dengan klaim rongsongkan yang menyatakan jika Kepulauan Natuna adalah bagian dari teritorialnya berdasarkan klaim sejarah nine dush line (sembilan garis putus-putus).  Padahal berdasarkan ketentuan United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS), Kepulauan Natuna itu adalah mutlak milik RI. Bahkan bila menggunakan pendekatan prinsip Romawi Kuno, effectif occupation,  Kepulauan Natuna adalah milik bumi pertiwi yang tidak bisa diganggu gugat. Karena pulau itu seratus persen dihuni oleh warga Indonesia terutama dari etnis Melayu.

Maka bila melihat matter of intension (ketulusan niat) dari Beijing yang sangat meragukan dan masuk kategori muna itulah, langkah Prabowo melakukan ‘diplomasi tari lenso’ ke berbagai poros kekuatan  dunia itu sangat menarik untuk dicermati. Cara diplomasi Prabowo itu sama persis seperti yang dilakukan oleh Soekarno  saat mencari dukungan persenjataan ke John F Kennedy maupun ke Nikita Kruschev untuk kepentingan membebaskan Irian Barat dari cengkeraman Belanda. Sebagai negara inisiator Gerakan Non  Blok (GNB)  yang memiliki  mahzab politik luar negeri yang bebas aktif tentu bukan persoalan mudah bagi Indonesia untuk memperoleh dukungan persenjataan dari berbagai negara poros kekuatan militer dunia seperti Amerika, Rusia maupun China. Butuh teknik khusus yang dilakukan oleh Soekarno dan kini diteruskan oleh Prabowo Subianto. Apalagi disaat kondisi geo politik yang terfragemntasi menjadi beberapa kaukus maupun kelompok yang saling berhadap-hadapan seperti saat ini.

Untuk mengantisipasi langkah Tiongkok yang sangat agresif dan ekspansif itulah, Prabowo menggunakan doktrin si vis pacem para bellum (jika kau menghendaki perdamaian maka bersiaplah untuk perang)  dari filsuf militer Yunani Vigetius Renatus serta filsuf Thucydides yang mengatakan ‘yang kuat akan berbuat yang dia mampu berbuat dan yang lemah akan menderita’, secara perlahan Prabowo menyulap kekuatan militer Indonesia menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan. Kini militer Indonesia menempati  peringkat 13 dunia sementara TNI AL bertengger di peringkat 4 dunia.  Tetapi langkah untuk mewujudkan militer yang kuat serta perbaikan peringkat itu bukan persoalan mudah. Pasalnya, karena  sejarah kelam Orde Baru, Indonesia sempat diembargo  senjata oleh beberapa negara termasuk Amerika Serikat yang sering menggunakan standar ganda yang jlimet dalam menjual senjatanya.

Selain membenahi  industri Alutsista dalam negeri yang terus memperlihatkan perkembangan yang signifikan, Indonesia juga memerlukan pembelian sejumlah Alutsista yang canggih. Dan itu bukan persoalan yang mudah bagi Indonesia, selain karena alokasi anggaran militer yang sangat minim, sejumlah negara juga tidak serta merta mengiyakan kemauan Indonesia. Maka diperlukan ‘diplomasi tari lenso’ yang harus dilakukan dan hal itulah yang dilakukan oleh Prabowo. Setelah keinginan membeli Sukhoi  dari Rusia terhalang ‘restu’ dari Washington. Dunia dikejutkan dengan komitmen pembelian 48 pesawat jet tempur Rafale dari Prancis serta Pesawat Boromae dari Korea Selatan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Manuver Prabowo itulah yang membuat gedung putih ‘bertekuk lutut’ dengan mengijinkan RI membeli 36 pesawat F 35 dengan syarat harus membeli 24 unit pesawat F 15 EX  (Eagle) terlebih dahulu. Disaat yang bersamaan pemerintah RI juga membeli sejumlah kapal perang canggih dari Inggris  Arrowhead maupun Freggat Monogami dari Jepang serta sejumlah komitmen pembelian Alutsista  seperti Kapal Selam dari Korea Selatan. Gebrakan Prabowo itu terbukti membuat China harus berpikir seribu kali untuk menyerang Indonesia. Apalagi banyak negara  terutama di kawasan Laut  China Selatan yang juga berseteru dengan China seperti Philipina, Vietnam, serta beberapa negara yang memiliki ‘dendam khusus’ dengan Beijing seperti Taiwan, Australia maupun Amerika Serikat.

Negara- Negara itu tentu berharap menjadi satu barisan dengan Indonesia untuk melawan China. Tetapi hingga saat ini Indonesia masih cukup cerdik memainkan peranannya. Meski tidak menjadi sekutu, Indonesia secara rutin menjalin latihan bersama sejumlah negara termasuk Amerika seperti melalui Forum Garuda Shield maupun forum latihan militer lainnya. Bahkan Indonesia juga ikut berpartisipasi dengan latihan militer yang digelar oleh kaukus militer Five Power Defence Arangement (FPDA) yang terdiri dari Australia, New Zealand, Malaysia, Singapura dan Inggris. Padahal forum ini sejatinya adalah forum yang dibentuk oleh negara-negara dominion Inggris yang salah satunya adalah untuk melawan Indonesia ketika berseteru dengan Malaysia.

Kesimpulannya, berbagai manuver Prabowo termasuk ke Pentagon itu terbukti cukup efektif dalam menghadapi potensi terjadinya agresi milter yang akan dilakukan oleh China untuk merebut Kepulauan Natuna. Manuver Prabowo juga  menguntungkan bagi kepentingan politik domestik Amerika pasca runtuhnya doktrin American First yang membuat Amerika bangkrut dan coba direvitalisasi oleh Donald Trump secara radikal tetapi  justru membuat Amerika kehilangan pamor dan mulai ditinggalkan oleh sekutu-sekutunya. Maka kedekatan dengan RI itu cukup membuat Amerika merasa jika marwahnya masih terjaga sebagai salah satu Global Corp (polisi dunia) meski telah lancung karena sejumlah kegagalan operasi militer Amerika di Irak, Suriah, maupun Afghanistan. Dan yang paling penting bagi Amerika, kedekatan dengan Indonesia adalah memberikan benefit secara ekonomi karena pembelian senjati hasil produksinya, disaat perekonomian dunia sedang resesi.

Sikap Indonesia yang menolak mentah-mentah  untuk dijadikan sebagai pangkalan militer Amerika untuk melawan China di Taiwan adalah langkah yang sangat bijak dan tepat sehingga Indonesia tidak akan terjebak dalam pusaran konflik antara China melawan Amerika. Tetapi Indonesia bisa mendapat benefit berupa peningkatan Alutsista untuk memperkuat armada militernya. Cara menjaga sikap Indonesia itulah yang memperlihatkan jika Indonesia tidak mau konfrontatif. Tetapi Indonesia tetap siap jika China tetap bawel seperti halnya pepatah Betawi, ‘ente jual ane borong’.

Tetapi manuver Prabowo ke Pentagon juga memiliki potensi dampak negatif  berupa terjadinya proses deligitimasi terhadap doktrin nasionalisme yang dimilikinya. Prabowo adalah alumni dari pusat pendidikan pasukan elit di Fort  Braggs AS. Putra mendiang Begawan Ekonomi Soemitro Djojohadikusumo ini tercatat sebagai salah satu lulusan terbaik bersama Raja Abdullah dari Jordania. Maka kedekatan dengan Gedung Putih itu akan melahirkan deligitimasi sekaligus framing jika Prabowo adalah antek atau boneka dari Amerika Serikat. Prabowo harus belajar dari sohibnya (Amien Rais), karena mengusung konsep otonomi daerah yang diadopsi konsep federasi di Amerika, Amien Rais hingga saat ini tidak bisa lepas dari cap sebagai boneka dari Amerika. Amien Rais  mengalami proses deligitimasi hebat yang berujung kekalahan dalam Pemilu 1999. Ketika proses reformasi   sedang berlangsung tidak ada satu tokohpun yang bisa menandingi popularitas mantan Ketua ICMI itu. Tetapi karena framing boneka Amerika, Amien Rais melalui Partai Amanah Nasional (PAN) tidak memperoleh suara yang signifikan. Justru Gus Durlah yang memperoleh berkah.

Padahal dalam beberapa pertemuanku dengan Amien Rais, sebenarnya  mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu  mengatakan jika  Amerika hanyalah tempat untuk belajar terutama tentang demokrasi. Isu antek Amerika itu pasti akan digunakan kembali dalam kontestasi Pilpres 2024 nanti. Sebelumnya Anies Baswedan yang notabene adalah alumni program pasca sarjana di College Park Maryland, Amerika maupun program doctoral di Northern  Illinois University Amerika juga dihantam isu sebagai antek maupun boneka Amerika.(***)

  • Penulis adalah Direktur Kajian Poleksusbudkum Cakra Emas Syndicate

 

 

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan