- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Kafir Dan Tidak Pancasilais

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Tafsir tentang terminologi kafir dalam Islam itu sebenarnya sangat luas dan kontekstual sekaligus bisa menjadi  bahan renungan bersama. Meski secara etimologi, bisa juga dimaknai sebagai sebuah idiom yang memiliki akar kata kufur yang berarti menolak atau menutup. Sehingga berdasarkan  Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kafir  itu bermakna orang yang tidak percaya (menolak) kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Definisi kafir yang berasal kufur at- tauhid (menolak Allah SWT sebagai Tuhan yang Maha Esa itu bisa  kita baca  dalam Surat Al-Maidah ayat 73, yang berbunyi,“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih”.

Tetapi kafir yang berasal dari akar kata kufur juga bisa dimaknai sebagai kata sifat seperti kufur al-ni`mah (mengingkari nikmat), seperti yang tertulis dalam QS Al Baqarah  152 yang berbunyi, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (la takfurun),”. Bahkan orang yang berputus asa juga masuk kategori sebagai orang kafir seperti dalam QS Yusuf 87 yang berbunyi,”Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”,

Meski memiliki tafsir yang sangat luas, terminologi kafir sering dijadikan sebagai julukan yang ofensif sekelompok orang terhadap orang-orang yang tidak beragama Islam. Bahkan teminologi kafir ini sering dijadikan sebagai kata kunci, sekelompok orang yang tidak memiliki padangan Islam yang kaffah untuk memusuhi bahkan menyerang kelompok (agama) lain. Padahal pasca perjanjian Yasthrib, atau Piagam Madinah/Shahifatul Madinah  (622M), Nabi Muhammad  SAW telah membuat kategorisasi tentang orang kafir, dan hanyalah kafir harbi, (orang non muslim yang memerangi muslim) yang pantas untuk diperangi. Selebihnya seperti kafir dzimi pantas dan wajib diberi perlindungan.

Maka sesungguhnya siapapun tidak punya hak untuk mengkafirkan orang lain. “Pengkafiran itu adalah hak Allah dan RasulNya, oleh karena itu tidaklah seseorang itu kafir kecuali yang dikafirkan oleh Allah dan RasulNya”. (Irsyad Ulil Abshar wal Albab linail Fiqh hal 198). Shahifatul Madinah itu merupakan sebuah pondasi yang diletakkan oleh Nabi Muhammad SAW untuk melindungi kebhinekaaan dan kemajemukan masyarakat Madinah saat itu, sehingga mereka bisa hidup berdampingan secara damai. Maka pantaslah bila Michael E Hard meletakkan Nabi Muhammad SAW, sebagai orang yang menempati peringkat pertama sebagai orang yang paling berpengaruh di dunia.

Dalam dimensi yang berbeda kita sering mendengar dikotomi  Pancasilais dan tidak Pancasilais. Terminologi Pancasilais berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penganut ideologi Pancasila yang baik dan setia. Pancasila berasal bahasa sansekerta yang bermula dari dua suku kata  Panca (lima) sila (dasar) yang merupakan intisari peradaban bangsa  Indonesia dan hasil dari konsesus bersama para founding father’s  kita yang tergabung dalam BPUPKI. Salah satunya adalah Agus Salim  yang berasal dari Padang. Pancasila yang lahir pada tanggal 1 Juni 1945 itu merupakan qausa prima (penyebab utama) lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebagai falsafah negara, Pancasila memiliki daya kohesi (daya ikat) yang luar biasa sehingga melahirkan kehendak bersatu (le desir de’etre ensemble) seperti teori kebangsaan Karl Renan yang sering dikutip oleh Soekarno. Kehendak bersatu itu bisa merasuki semua elemen bangsa yang terdiri dari ribuan pulau, suku, bangsa dan bahasa. Maka untuk menjahit dan membingkai semua perbedaan itulah para faunding fathers merumuskan lima sila dalam Pancasila menjadi satu kesatuan yang utuh. Sehingga selama bertahun-tahun masyarakat Indonesia bisa hidup berdampingan secara rukun menjadi satu kesatuan.

Cara menjahit dan merekat kesatuan Indonesia itu adalah dengan cara memahami sekaligus mengamalkan Pancasila terutama sila ketiga, Persatuan Indonesia. Maka semua elemen bangsa harus bisa menjaga sikap agar tidak menimbulkan ketersinggungan dari kelompok  lain sehingga mereka merasa terayomi meski merasa sebagai minoritas.  Tidak ada satu pihakpun yang berhak mengklaim sebagai orang yang paling pancasilais, apalagi bila itu menyangkut perbedaan pandangan politik, karena itu merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi yang kita anut dan sepakati bersama.

Sistem demokrasi memberi ruang perbedaan, dan itu dilindungi oleh konstitusi kita. Selama cara mereka menyatakan sikap dan perbedaan pandangan itu tidak melanggar norma-norma hukum maupun norma-norma kesusilaan yang kita anut. Tafsir Pancasila tidak bisa dimonopoli oleh kekuasaan, karena sesuai dengan asas equality before the law, semua warga negara baik yang ada di pemerintahan atau di luar pemerintahan memiliki status dan hak yang sama. Dan semua perbedaan itu sesuai dengan ketentuan sila 4 Pancasila telah diberi ruang untuk dimusyawarahkan dan bukan untuk dihakimi.

Seperti halnya sabda nabi, tidak ada satupun orang yang berhak untuk mengkafirkan orang lain selain Rasul dan Tuhan YME,  maka tidak ada satupun orang di republik ini yang berhak mengatakan seseorang/sekelompok orang itu Pancasilais atau tidak Pancasilais. Justru orang yang Pancasilais senantiasa akan merangkul orang lain  untuk duduk bersama di depan ibu pertiwi sekaligus menjaga Persatuan Indonesia.*** 

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan