- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Jokowi Terancam Tinggal Kenangan

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Dalam sejarah  republik ini, mungkin  hanya Presiden Jokowi yang memiliki pesonal image yang sangat kuat sebagai pemimpin  humble (rendah hati) dan jujur. Personality cah Solo ini terbilang lugu dan tulus, sehingga tidak tercipta jarak  antara seorang Presiden dengan para staff maupun masyarakat. Terbukti dengan kebijakan Jokowi yang memangkas birokrasi  dan sistem pengamanan yang lebih ramping terhadap diri dan keluarganya. Dalam setiap kunjungannya, Jokowi selalu berusaha dekat dengan masyarakat.

Etos kerja mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga terbilang tinggi. Alumni Fakultas Kehutanan UGM ini memiliki benchmark, melalui kebiasaan blusukan  yang kemudian diaplikasikan dalam nama kabinet yang dipimpinnya menjadi Kabinet Kerja. Sesuai dengan kontrak politiknya dalam menyusun kabinet,  para pembantunya dituntut untuk kerja secara spartan guna mewujudkan mimpi besarnya sesuai dengan Program Nawa Cita. Mereka dituntut  untuk kerja, kerja dan kerja.

Pencapaian yang telah direngkuh mantan Wali Kota Solo ini juga terbilang  fantastis. Sesuai dengan jargonnya yang ingin melakukan ‘revolusi’, dalam kurun waktu tiga tahun telah menuai hasil yang signifikan. Dengan kredo ‘membangun dari pinggiran’ Jokowi melakukan pembangunan infrastruktur secara besar-besaran. Mulai dari pintu gerbang perbatasan,  berbagai jalan tol, pelabuhan, bandara hingga beberapa PLTU dan PLTA yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Apalagi ditunjang dengan Program Dana Desa. Pendeknya, pada era Pemerintahan Jokowi inilah pembangunan infrastruktur memperoleh porsi yang sangat besar. Sehingga pertumbuhan perekonomian nasional secara makro tetap terjaga pada kisaran 5 %, yang mengindikasikan Indonesia sebagai salah satu dari tiga negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia.

Dalam pidato kenegaraan, 16 Agustus 2018 lalu misalnya, Jokowi mengklaim jika pertumbuhan ekonomi tetap stabil dan bisa menurunkan tingkat kemiskinan. Hingga bulan Maret 2018 lalu, angka kemiskinan turun  satu digit menjadi 9,82 %. Bila sebelumnya 11, 22 persen atau sekitar 28,59 juta jiwa kini menjadi 9,82% atau sekitar 25,95 juta jiwa. Dalam kesempatan yang sama Jokowi juga mengklaim jika pemerintah telah memberikan bantuan melalui Program Keluarga Harapan (PKH) terhadap 10 juta keluarga pada tahun 2018. Intinya, pemerintah telah mengklaim jika pembangunan nasional sudah berada pada track yang benar.

Kapital politik  yang hebat seperti itu ternyata masih banyak diragukan bisa menjadi modal buat Jokowi untuk memenangkan Jokowi dalam Pilpres 2019 nanti. Karena pencapaian itu ternyata berbanding terbalik dengan tingkat elektabilitas Jokowi berdasarkan hasil polling sejumlah lembaga survey. Sesuai  hasil survey Lembaga Media Survay Nasional (Median) Juli lalu misalnya, tingkat elektabilitas Jokowi hanya bertengger pada kisaran 35,7%. Konon faktor yang menjadi penyebab popularitas Jokowi jeblok  dalam survey tersebut justru karena faktor ekonomi dan politik.

Tak jauh berbeda hasil survey yang direlease oleh LIPI dalam periode yang sama dengan sampling yang sama  juga menyebutkan elektabilitas Jokowi masih di bawah 50%. Sementara hasil survey yang dikeluarkan oleh LSI juga relatif tidak jauh berbeda, hanya berada pada kisaran 52%. Artinya calon petahana itu belum berada pada titik aman. Faktor pemilihan Cawapres juga akan memberikan kontribusi negatif jika calon tersebut tidak bisa merepresentasikan calon yang bisa mewakili semua golongan.

Analisa tentang faktor yang menjadi penyebab jebloknya elektabilitas Jokowi itu sebenarnya sangat sederhana. Semua pencapaian itu ternyata tidak bisa memberikan impact ekonomi secara langsung terhadap masyarakat. Hal inilah yang tidak pernah diperhitungkan oleh Pemerintahan Jokowi, seakan-akan pemerintahan Jokowi seperti halnya yang tersirat dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2018 hanya akan menjaga stabilitas makro dan terkesan mengesampingkan sektor mikro.

Seperti diketahui, untuk mewujudkan berbagai program-program unggulan yang dimiliki Pemerintahan Jokowi  seperti Dana Desa (DD), Kartu Indonesia Pintar (KIP) serta Kartu Indonesia Sehat (KIS), pemerintah melakukan langkah yang radikal berupa penghapusan subsidi BBM dan pemotongan anggaran besar-besaran sekitar Rp 136 triliun, serta melakukan upaya intensifikasi dan diversifikasi pajak  yang luar biasa. Intensifikasi berupa tax amnesty dan  penerapan sejumlah pajak, bahkan program ini terbilang yang paling ‘ganas’ dalam sejarah.

Dengan berbagai program itu memang masyarakat yang masuk kategori miskin secara abslout yang berjumlah sekitar 25 juta itu merasa sangat terbantu. Tetapi yang diluar perhitungan pemerintah, yang paling merasakan dampak  multiplier effect dari kebijakan itu justru masyarakat yang setengah miskin yang notabene jumlahnya jauh lebih besar. Terutama adalah masyarakat urban yang memiliki mobilitas relatif lebih tinggi dari masyarakat miskin. Merekalah yang sangat merasakan dampak dari berbagai kebijakan yang inflatoir itu. Karena mereka harus menanggung beban kenaikan ongkos serta harga bahan-bahan pokok. Sementara mereka tidak mungkin memperoleh berbagai fasilitas seperti yang diperoleh oleh masyarakat miskin.

Dengan pemotongan anggaran yang sangat besar, terjadi kekosongan di level menengah. Kelas inilah yang saat ini mengalami lesu darah. Padahal sektor inilah yang selama ini menjadi penghela sektor mikro. Disisi lain karena effect law enforcement berupa OTT dan Saber membuat penyerapan anggaran pemerintah melalui lembaga/departemen dalam RAPBN 2018 yang sebesar Rp 847,4 triliun menjadi sangat minim dibawah 50%. Artinya anggaran itu menjadi mampet dan tidak menetes. Sehingga harapan untuk memperoleh efek rembesan (trickle down effeck)  menjadi sangat minim.

Bahkan pasca krisis ekonomi tahun 1997, saat inilah sektor mikro yang mengalami konstraksi dan bleeding (pendarahan) yang hebat. Daya beli masyarakat saat ini jeblok. Bila kondisi ini terus dibiarkan bukan tidak mungkin dalam waktu yang tidak lama lagi angka kemiskinan kembali membengkak.

Artinya secara empirik berbagai program pemerintah itu belum bisa memberikan dampak secara ekonomi terhadap masyarakat. Memang dalam jangka menengah panjang pembangunan infrastruktur itu akan membuat pondasi ekonomi nasional akan menjadi kokoh. Tetapi logika masyarakat awam susah diajak mengerti, karena ini menyangkut dapur masyarakat yang harus ‘ngebul’ tiap hari.

Dengan hipotesa seperti itu, maka dalam masa kampanye yang akan datang sangat mubazir bila Tim Kampanye  Jokowi akan menjual isu ekonomi sebagai produk unggulan mereka. Apalagi jika sosialisasi itu dilakukan dengan cara menjejali masyarakat dengan angka-angka melalui medsos. Justru itu akan menimbulkan resistensi yang sangat besar. Karena dari semua level masyarakat saat ini justru merasakan lesunya sektor mikro yang notabene menyangkut urusan perut mereka.

Setali tiga uang, dalam bidang politik juga sering terjadi episentrum. Kegaduhan politik pada era Jokowi ini cenderung sering terjadi. Bahkan  secara imaginer saat ini ada garis demarkasi antara sesama elemen bangsa. Sepanjang sejarah republik ini, baru saat ini  masyarakat  cenderung terkotak-kotak, antara dua kelompok yakni kecebong dan kampret.

Maka satu-satunya cara yang bisa menyelamatkan Jokowi adalah cara komunikasi yang cerdas dalam mengemas sekaligus menawarkan keberhasilan Jokowi. Bila tidak, Jokowi  justru bisa ‘terpeleset’ dan hanya dikenang sebagai Bapak Infrastruktur Indonesia.***

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan