Mungkin publik masih ingat pada Selasa 23 Mei 2017 lalu, Presiden Joko Widodo dengan wajah berbinar binar mengucapkan rasa syukur dan mengapresiasi kerja keras jajarannya di pemerintah pusat atas keberhasilan memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK). Predikat membanggakan ini merupakan yang pertama kalinya bagi pemerintah pusat dalam kurun waktu 12 tahun terakhir.
“Alhamdulillah”. Itu ucapan yang keluar dari mulut Jokowi begitu menerima laporan dari pihak BPK saat itu. “Ini adalah sebuah kerja keras kita selama ini, kementerian dan semua lembaga dalam penggunaan uang rakyat, pengguna APBN,” kata Presiden Jokowi saat acara penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) Tahun 2016 di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.
Pada kesempatan yang sama Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara juga menyampaikan bahwa sebanyak 73 Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) dan 1 Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara mendapatkan opini WTP. Jumlah tersebut mencapai 84 persen dan terjadi peningkatan dibanding tahun lalu sebesar 65 persen LKKL yang memperoleh opini WTP.
Namun belum sepekan berjalan tepatnya Jumat 26 Mei 2017 masyarakat di tanah air dibuat kaget. Karena apa yang didengar dari ucapan Presiden Jokowi 23 Mei lalu itu tidak sesuai dengan fakta. Pasalnya saat itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru menangkap pejabat auditor BPK karena terlibat dugaan suap dalam pemberian predikat WTP pengelolaan keuangan Kemendes.
Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo tertunduk malu atas terbongkar adanya permainan kotor di kementerian yang dipimpinnya. Presiden Jokowi pun dibuat lemas karena sebelumnya dia sangat bangga dengan kerja anak buahnya, ternyata dia malah dipermainkan.
Praktik suap-menyuap untuk mendapatkan penilaian positif dari BPK kata Ketua Kompisi III DPR RI Bambang Soesatyo bisa merusak tata kelola keuangan negara. Sebab, tugas utama BPK adalah memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang digunakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara dan badan lain yang memiliki wewenang. Kata dia kalau auditor BPK bermain dengan uang suap secara otomatis laporan hasil pemeriksa pun pastik tidak jujur dan sarat kebohongan. Akibatnya gambaran tata kelola keuangan negara menjadi tidak jelas karena benar, salah atau untung rugi akan sangat sulit ditelusuri.
Terungkapnya kasus suap menyuap untuk predikat WTP menjadi gambaran bahwa korupsi berjamaah telah dilakukan secara sistematis di tanah air. Laporan keuangan Kemendes PDTT pada 2016 mendapatkan predikat WTP dari BPK. Karena terbukti ada praktik suap untuk mendapatkan predikat itu hasil pemeriksaan dan penilaian BPK terhadap Kemendes PDTT telah dimanipulasi.
Predikat WTP itu dinilai telah menyesatkan karena merusak tata kelola keuangan negara. Secara tegas Bambang menyatakan, kalau praktik suap menyuap tidak dihentikan, korupsi di negara ini akan sangat sulit diperangi. Kasus di Kemenkes yang diungkap KPK bukan tidak mungkin cara seperti ini juga terjadi di kementerian atau lembaga lain. Saat penangkap penyidik KPK menyita barang bukti berupa uang lebih dari Rp 1,22 miliar. Hasil pemeriksaan uang itu diketahui bukan diambil dari anggaran Kemenkes. Kini timbul pertanyaan dari mana uang itu muncul.
Banyak pihak menduga kasus suap untuk mendapatkan predikat WTP dari BPK diduga menyimpan misteri yang sangat besar di balik itu. Tidak bisa dipungkiri, langkah yang dilakukan pejabat di Kemendes untuk menyuap auditor BPK patut diduga ada kaitan dengan kasus dugaan penggunanaan anggaran yang triliunan rupiah menyimpang di kementerian tersebut.
Untuk menutupi borok ini pihak Kemendes mencoba menyuap auditor BPK sehingga opini yang muncul ke masyarakat bahwa Kemendes bersih dari penyelewengan anggaran. Bahkan di mata Presiden Jokowi kementerian ini mendapat pujian karena dinilai telah bekerja keras dalam pembangunan pedesaan yang kini menjadi fokus utama pemerintahan Jokowi.
Banyak pihak mendesak KPK jangan hanya berhenti masalah suap menyuap saja. KPK harus mengusut dugaan adanya korupsi anggaran di balik penyuapan itu. Sangat tidak mustahil pihak Kemenkes nekat melakukan upaya yang sangat tidak terpuji dan harus berakhir di balik penjara jika tidak terjadi penyimpangan yang harus ditutupi. KPK telah menetapkan Irjen Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Sugito sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait dengan perolehan predikat WTP. Kini muncul pertanyaan, apakah predikat WTP yang diperoleh Kementerian lainnya juga penuh misteri. KPK masih mendalaminya.
Terkait kasus suap di Kemendes dalam penelusuran Majalah Berita Pro LEGAL mendapatkan data terkait realisasi dana desa Kemendesa PDTT tahun 2015 sampai dengan semester 1 tahun anggaran 2016. Sesuai data dan informasi yang diperoleh untuk membiayai belanja pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, Kemendes PDTT mengeluarkan total dana sebesar Rp. 24.140.565.971.847.
Dalam perjalanan program Dana Desa tersebut disebutkan dan patut diduga terjadi penyimpangan dana sebesar Rp.1.867.202.824.312,-. Hal ini diduga diakibatkan, Kemendes PDTT merealisasikan dana desa tidak sesuai prioritas penggunaan Dana Desa.
Tidak tercapainya prioritas penggunaan dana desa ini diduga terjadinya praktek KKN. Hal itu terlihat mulai dari awal rekrutmen tenaga pendamping profesional sehingga dana yang dianggarkan untuk biaya operasional pendamping program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa diduga menguap sebesar Rp. 425.191.445.395,- untuk tahun 2015 dan Rp.552.290.077.054,- untuk tahun 2016.
Selain itu terdapat juga dana honorarium dan bantuan biaya operasional pendamping program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa tersebut, disebut tidak wajar dan tidak dapat diyakini kebenarannya. Penggunaan dana dalam program-program tersebut, Kemendes PDTT terindikasi tidak menggunakan standar akutansi negara yang benar.
Dalam penggunaan dana-dana itu, terutama pembayaran honor yang mengggunakan system lump sum itu tidak disertai dengan dokumen-dokumen pertanggung jawaban yang memadai. Ironisnya, system pengawasan internal (SPI) melalui Inspektorat Jenderal pun diketahui tidak menjalankan fungsinya secara maksimal. Sayang, hingga berita ini ditulis, konfirmasi tertulis yang dikirimkan Pro LEGAL kepada Dirjen PPMD Kemendes terkait adanya indikasi berbagai penyimpangan itu belum diberi tanggapan.
Suap menyuap antara pejabat Kemendes dengan auditor BPK dalam mendapatkan predikat WTP sudah dirancang secara khusus. Kata Wakil Ketua KPK Laode M Syafif dalam pembicaraan melalui telepon kedua belah pihak menggunakan kode khusus. Dalam komunikasi percakapan kedua pejabat dari Kemendes dan BPK selalu memakai kata “perhatian” untuk menentukan jumlah uang yang bakal disepakati. KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji terkait pemberian opini WTP.
Sebagai pihak pemberi suap Sugito dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sedang Rochmadi dan Ali sebagai pihak penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 KUHP Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. TIM