Oleh : Gugus Elmo Rais
Konsideran terbitnya undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah Bangsa Indonesia sempat menjadi bangsa paria (paling nista) di dunia. Pasalnya, tindak pidana korupsi pada era Orde Baru sangat menggurita secara Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM). Sehingga lembaga Nirlaba Traparancy Internasional (TI) sempat menobatkan Indonesia sebagai negara paling korup di kolong langit.
Saat itu korupsi terutama di lingkup inner circle kekuasaan Presiden Soeharto memang begitu agresif memanfaatkan kekuasaan sangat hegemonik yang dimiliki keluarga Cendana seperti hipotesa Lord Acton, ’Power absolute tend to corrupts’. Berbagai bentuk abuse of power (penyalah gunaan kekuasaan), mulai dari kategori bribery (uang suap) hingga katabelece (surat sakti), ingat kasus Golden Key, Edy Tansil dalam penggarongan uang Rp 1,5 T milik Bank Bapindo, begitu merajalela.
Tindak pidana korupsi yang merajalela itulah yang mengilhami gerakan reformasi mahasiswa 1998, dengan agendanya, turunkan Soeharto dan tindak secara hukum bersama kroni-kroninya, berantas korupsi serta amandemen undang-undang terutama untuk membatasi masa jabatan presiden. Maka stressing utama pasca Soeharto lengser adalah penegakkan hukum (law enforcement) terutama pemberantasan korupsi yang telah dikategorikan sebagai extra ordinery crime (kejahatan yang luar biasa) bersama dengan terorisme dan penyalah gunaan Narkoba. Sehingga Undang-Undang itulah yang menjadi salah satu landasan yuridis dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebagai negara hukum (rechstaats) dan bukan negara kekuasaan (machstaats) sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka momentum penegakkan hukum (law enforcement) ini harus kita jaga. Dalam konteks ini menurut saya hukum harus ditegakkan secara progresif seperti pemikiran Karl Ranner yang menyatakan hukum itu harus dibiarkan mencari dan menemukan jalannya sendiri secara progresif, (the development of the law gradually works out what is socially reasonable).
Menurut Satjipto Raharjo yang kita kenal sebagai penemu teori hukum progresif, hukum bukan sekedar aturan determinatif yang sengaja dibikin (rule making) tetapi perlu dilakukan terobosan terobosan (rule breaking) untuk mencapai tujuannya yang paling tinggi. Maka aparat hukum harus bersifat proaktif untuk melakukan pencarian hukum (rechvinding), sehingga memungkinkan aparat memahami hukum tidak secara letter leks tetapi secara kontekstual. Seperti misalnya seorang hakim harus berani memutus perkara berbeda dengan tuntutan jaksa, selama ada temuan hukum yang bisa dipertanggung jawabkan (ultra petita).
Menurut Satjipto, hukum progresif maupun intressenjurisprudenz dan legal realism, memiliki semangat dan tujuan yang sama, yaitu semangat menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia sebagai tujuan utama dari hukum. Teori hukum progresif dekat dengan social engineering dari Roscoe Pound, dalam teori ini peran masyarakat secara aktif sangat diharapkan seperti halnya teori ahli tata negara George Jellinek yang menyatakan jika eksistensi liberalisasi dalam bidang hukum memberi garis penekanan pada platform kebebasan individu atau peran rakyat secara aktif, dengan peran negara yang negatif.
Tetapi peran masyarakat yang aktif itu juga harus tetap dibekali dengan pemahaman dan pengetahuan hukum yang cukup, dan tidak hanya berbekal bondo nekat (Bonek). Terutama bila subyek hukumnya adalah sekelompok masyarakat atau figur-figur yang memiliki tugas dan fungsi yang startegis. Karena apapun kasus yang diadukan akan membawa konsekuensi adanya pemeriksaan setidaknya klarifikasi, yang bisa mengganggu tugas dan kewajiban figur-figur tersebut. Dan yang paling fatal, adalah membuka ruang terjadinya kegaduhan dan trial by opinion oleh pihak-pihak lain yang menghendaki jabatan politis yang diduduki figur tersebut. Meskipun ini masuk kategori sebagai resiko atau konsekuensi jabatan.
Masih segar dalam ingatan kita, adanya ‘serangan’ bergelombang berupa aduan tentang dugaan korupsi terhadap Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam kasus Formula E. Meski tindakan melaporkan itu adalah hak hukum setiap warga negara tetapi karena aduan itu dilakukan menjelang kontestasi Pilpres 2024, tak urung banyak pihak yang menganggap jika aduan itu bermuatan politis untuk menjegal Anies agar tidak ikut dalam Pilpres 2024 lalu dan ternyata hingga saat ini belum terbukti adanya indikasi korupsi. Ironisnya, kubu yang sebelumnya rajin menyerang Anies itu saat ini justru mengapungkan wacana untuk menyandingkan Anies dengan Kaesang dalam Pilgub DKI yang akan datang.
Saat ini juga muncul pengaduan sekaligus proses pemeriksaan terhadap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Ada juga pihak juga yang menganggap jika pemerikasan itu sangat politis karena Hasto rajin menyoalkan adanya indikasi kecurangan dalam Pilpres 2024 lalu. Sementara proses penangkapan terhadap Harun Masiku yang notabene bisa menjadi saksi kunci, juga terkesan adanya tarik ulur.
Nyaris senasib sepenanggungan, kini muncul laporan dugaan korupsi baru terhadap Mantan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa dalam proses penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) tahun 2015 senilai Rp 98 M, saat Khofifah masih menjabat sebagai Menteri Sosial RI. Laporan itu kembali muncul nyaris bersamaan setelah Khofifah menyatakan akan maju kembali dalam kontestasi Pilgub Jatim 2024 yang akan datang. Kita tidak perlu apriori atau langsung menuduh jika itu aduan yang politis untuk menjegal Khofifah.
Tapi kita harus telaah dari aspek hukumnya. Menurut Gustav Radbruch setiap proses peradilan hingga putusan hakim idealnya harus mengandung idee das rech yaitu aspek keadilan (gerechtigkeit), aspek kepastian hukum (rechtssicherkeit) dan aspek kemanfaatan (zwechhtmatigkeit). Maka untuk membedah ketiga aspek itu terutama aspek keadilan dan kepastian hukum maka kita harus menggunakan pisau analisa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang sering digunakan oleh JPU dalam perkara dugaan korupsi..
Dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor itu disebutkan, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah”.
Sementara dalam Pasal 3 disebutkan, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.
Dalam kedua pasal itu ada frasa secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 183 dan 184 KUHAP, para pelapor atau penyidik harus memberikan setidaknya dua alat bukti untuk membuktikan jika para terlapor itu ada upaya untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain. Penyidik atau pelapor harus bisa menemukan bukti jika terlapor memiliki hubungan dengan korporasi/vendor yang menyalurkan bantuan sosial itu, sekaligus menemukan bukti adanya cash back terhadap terlapor.
Sehingga tuduhan pelanggaran terhadap pasal 2 dan 3 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi itu bisa terpenuhi. Jika delik itu sudah terpenuhi secara otomatis penyidik KPK tidak punya alasan untuk tidak memproses secara lanjut. Maka perolehan bukti hukum materiil itu menjadi sangat penting. Yang perlu didefiniskan lebih detail adalah pengertaian sekaligus bukti materiil adanya unsur kerugian negara dalam proses pemberian bantuan sosial itu.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana terkait proses pemberian Bansos itu bila tidak sesuai dengan prosedur misalnya tanpa melalui proses Musrenbang sehingga terkesan ada unsur kesengajaan. Maka kita harus kaji dari tingkat urgensi pemberian bantuan sosial saat itu. Jika tidak urgen, maka kita harus telusuri lebih lanjut, tetapi bila memang urgen karena proses Musrenmbang pasti membutuhkan waktu yang lebih lama ketimbang minta data dari Pusdatin Kemensos yang pasti telah melalui proses updating.
Maka jika terkait proses itu pasti penyidik memerlukan waktu, tetapi secara umum jika itu terkait kebijakan itu tidak bisa dipidana. Kecuali jika memang pelapor atau penyidik bisa menemukan dua alat bukti ada upaya untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain, seperti yang saya uraikan di atas. Karena dalam setiap kebijakan itu selalu ada Ambetlijk Bevel (perintah jabatan) yang melekat dalam setiap level jabatan.
Dalam sistem hukum kita terutama Pasal 51 ayat (1) KUHP dinyatakan, “ Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana,”. Pasal ini termasuk sebagai pasal penghapus dalam sistem hukum pidana kita selain alasan pasal pemaaf, Pasal (44 ayat (1) karena cacat mental serta karena membela diri (noodweer) pasal 49 (1). Jika setiap kesalah proses kebijakan bisa dipidanakan, maka berapa banyak pejabat yang akan masuk hotel prodeo karena kesalah dari anak buahnya.(***)
- Penulis adalah praktisi hukum dan Direktur Eksekutif Lambaga Kajian Poleksosbudkum Cakra Emas Syndicate