- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Jangan Jadikan Bangsa Ini Sebagai Kelinci Percobaan


Oleh : Gugus Elmo Rais

Masih segar dalam ingatan kita, pesta demokrasi dalam bentuk Pileg dan Pilpres 2019 lalu telah berubah menjadi tragedi. Berdasarkan data dari KPU tercatat  ada 894 petugas KPPS yang meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit. Angka kematian itu jauh melampaui kematian akibat terpapar Covid 19 dalam satu hari. Tragedi yang tragis itu terjadi karena para petugas mengalami kelelahan yang luar biasa karena harus mengumpulkan perolehan suara dari para kontestan baik Pileg (pemilihan anggota legislative) maupun Pilpres (pemilihan presiden dan wakil presiden).

Proses pemilihan yang dilakukan secara serentak itu sangat menguras energi para petugas demi terlaksananya Pemilu yang jujur dan adil. Para ‘pahlawan demokrasi’ itu telah menjadi tumbal dari pelaksanaan Pilpres dan Pileg secara serentak. Perubahan sistem itu terjadi pasca terbitnya putusan  MK Nomor 14/PUU-XI/2013 terutama  Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 itu  terbit setelah ada permohonan judicial review dari sejumlah tokoh dalam hal ini  adalah kalangan akademisi atau pengamat politik. Argumentasi yang dibangun oleh para  tokoh itu dalam mengajukan judicial review pun terdengar  sangat indah dan rasional yakni demi efisiensi dan penghematan anggaran. Ironisnya, hingga saat ini setidaknya saya belum pernah mendengar para tokoh itu minta maaf ataupun mengungkapkan belasungkawa. Padahal gagasan indah itu ternyata melahirkan malapetaka.

Tragedi itu  telah menyisakan persoalan besar bagi bangsa ini apakah sistem itu harus tetap dipertahankan. Masih adakah  orang yang akan mau  bila ditunjuk menjadi anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam Pemilu 2024 yang akan datang. Karena untuk memperoleh honor berkisar Rp 400-Rp 500 ribu mereka harus berjibaku dan mempertaruhkan nyawa. Artinya para pemohon judicial review itu telah meningalkan legacy yang gagal. Dan hingga saat ini belum ada para pihak yang mau membahas kemungkinan perubahan itu.

Malapetaka itu menjadi sebuah pembelajaran yang sangat berharga, jika sebuah gagasan itu seharusnya dikaji secara holistik tidak hanya dari satu aspek saja, meski terlihat sangat rasional. Setidaknya gagasan itu harus menggunakan acuan dari berbagai disiplin ilmu. Nalar dan rasionalitas publik harus tetap dirawat meski gagasan itu muncul dari orang-orang yang dianggap memilki nama besar. Gagasan tanpa kajian yang holistik hanya akan menjadikan bangsa ini tak ubahnya seperti kelinci percobaan.

Jelang hajatan politik Pileg maupun Pilpres 2024 kembali muncul gagasan yang ‘nyleneh’ yakni kemungkinan Presiden Jokowi untuk diusung kembali menjadi salah satu kontestan dalam Pilpres yang akan datang. Padahal kita telah memiliki pakem yang telah kita sepakati bersama sebagai salah satu produk reformasi yakni pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama dua periode sebagai antitesis dari sistem yang ada selama Orde Baru yang nyaris menjadikan presiden seumur hidup, meskipun sangat korup dan otoriter. Argumentasi yang dibangun juga tak kalah indah dan melankolis, untuk menghindari friksi di masyarakat yang telah terbelah menjadi dua kubu.

Untuk mengegolkan proyek politik itu, mekanisme yang diapungkan adalah melakukan amandemen terhadap pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Pertanyaanya apakah semudah itu, usulan amandemen itu akan diterima oleh parlemen mengingat konstelasi antara partai pro pemerintah dan oposisi relatif berimbang. Apakah juga ada jaminan semua partai pendukung koalisi akan loyal dan mendukung gagasan itu bila, ‘profit sharing’nya tidak memadai ?.

Maka sesungguhnya argumentasi untuk menghindari friksi itu jelas akan menimbulkan friksi baru yang justru akan membelah bangsa ini. Bila mereka menganggap ada fenomena fragmentasi  kelompok masyarakat berdasarkan aliran yang berpotensi terjadinya disintegrasi bangsa itu justru argumentasi yang mempermalukan pemerintah yang bisa dianggap gagal dalam mengelola managemen kebangsaan. Karena secara politik pemerintah bisa dinilai tidak bisa menyatukan dua kelompok yang berseberangan. Padahal kedua tokoh dari kedua kubu itu kini berada dalam kubu yang sama yakni Jokowi dan Prabowo.

Dan tanpa disadari mereka justru melawan framing negatif terhadap pemerintah dengan menggunakan framing baru. Beruntung, secara bijak Presiden Jokowi sendiri secara eksplisit telah menolak gagasan itu dengan menggunakan bahasa menampar dan mencari muka di hadapannya. Apalagi bila gagasan itu dipaksakan justru akan merugikan banyak pihak termasuk Presiden Jokowi sendiri yang bisa dinilai sebagai sosok yang maruk jabatan. Padahal selama dua periode memimpin republic ini Jokowi telah menorehkan prestasi yang cukup baik. Dan Jokowi juga pasti ingin meninggalkan legacy sebagai Presiden yang baik dan selalu dikenang rakyatnya.

Publik juga harus sadar banyak akademisi maupun pengamat politik yang merangkap jadi broker politik. Dan pasti ada beberapa kelompok kepentingan yang berada dibalik gagasan itu. Tetapi nalar publik harus tetap dirawat agar kita sadar tidak menjadi kelinci percobaan untuk kesekian kalinya. Meski gagasan itu muncul dari nama-nama besar alumni beberapa kampus terkenal di  dunia. Sehingga legacy yang ingin ditinggalkan oleh para pengusung gagasan itu tidak layak untuk didukung.***

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan