Oleh : Gugus Elmo Rais
Sejarah suksesi kepemimpinan nasional dalam persepektif budaya Jawa, tidak pernah terlepas dari hal-hal yang bersifat metafisika. Pengertian metafisika dalam sudut padang ilmu filsafat adalah sesuatu yang berkaitan dengan proses analitis atas hakikat fundamental mengenai keberadaan dan realitas yang menyertainya. Dalam foklor Jawa sesuai dengan sabdo pandito Prabu Joyo Boyo, pemimpin nasional Bangsa Nusantara selalu memiliki kata akhiran Notonogoro. Akhiran itu menjadi akronim nama-nama Presiden RI terpilih.
Meski ramalan atau sabdo Joyo Boyo itu tidak berlaku terhadap Presiden Ad Interim (baca : transisi/sementara) seperti BJ Habibie, Abdurrahman Wahid serta Megawati Soekarnoputri, tetapi ramalan itu terkonfirmasi terhadap presiden yang terpilih dan menjabat secara paripurna seperti No (untuk Presiden RI Pertama, Soekarno) To (untuk Presiden RI Kedua, Soeharto) No (untuk Presiden RI Keenam, Susilo Bambang Yudhoyono) serta No (untuk Presiden RI Ketujuh, Mulyono atau nama asli dari Joko Widodo).
Artikel ini sama sekali tidak mengajak orang untuk mempercayai klenik maupun metafisik serta mengajak orang berpikir sektarian dan primordial sekaligus melakukan Jawanisasi. Tetapi tidak ada salahnya jika faktor itu dijadikan kalkulasi politik untuk menyambut Pilpres 2024. Sekaligus untuk menentukan strategi yang efektif bagi setiap Paslon untuk memenangkan pertarungan. Karena foklor itu sering menjadi panduan alam bawah sadar untuk menentukan pilihannya terutama bagi pemilih yang masuk kategori swing voters (pemilih mengambang). Dan faktor pemilih yang berlatar belakang suku Jawa, foklor itu tidak bisa diabaikan begitu saja.
Karena berdasarkan data dari BPS tahun 2020, dari 273,5 juta jiwa penduduk Indonesia yang berasal dari 300 etnik dan 1340 suku bangsa, sekitar 41 % diantaranya atau sekitar 111,93 juta jiwa diantaranya adalah Suku Jawa. Berdasarkan data KPU, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih dalam Pilpres 2019 lalu sebanyak pemilih di dalam negeri 190.779.969 pemilih. Jumlah pemilih di luar negeri total 2.086.285 pemilih. Dari jumlah angka pemilih itu 57,29 persen diantaranya adalah suku Jawa.
Apalagi pemilih dari generasi milenial diprediksi akan mendominasi suara pada Pemilu 2024. Dari daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu serentak 2019, pemilih berusia 20 tahun mencapai 17.501.278 orang, sedangkan yang berusia 21-30 tahun sebesar 42.843.792 orang. Data-data empirik itulah yang bisa memancing adrenalin bagi para kandidat untuk menentukan startegi yang jitu dalam menghadapi palagan Pilpres 2024.
Pertanyaan yang berbau metafisika itu, adalah siapa kandidat Capres dalam Pilpres 2024 yang sesuai dengan kriteria ramalan Joyo Boyo itu ?. Bila dalam Pilpres 2024 nanti adalah giliran sosok yang memiliki kata akhiran Go, maka dalam bursa kandidat Capres dan Cawapres tersisa hanya dua yakni Go untuk (Ganjar) atau Go (untuk ErlangGa), bahkan bila keduanya disandingkan sebagai pasangan Capres dan Cawapres akan diperoleh akronim Gagah (Ganjar Pranowo-Erlangga Hartarto).
Setelah penalaran berdasarkan hitung-hitungan metafisika, pertanyaan selanjutnya adalah, mungkinkah kedua pasangan itu dipasangkan berdasarkan kalkulasi politik. Harapan Ganjar untuk memperoleh restu dari Kebagusan saat ini kian menipis, setelah wacana dukungan PDIP terhadap Pasangan Prabowo-Puan Maharani menguat. Sekalipun berdasarkan hasil polling sejumlah lembaga survey nama Ganjar masih tetap unggul jauh dari Puan. Apakah ada jaminan Mbakyu Megawati nanti akan merubah sikap dan memberi restu terhadap Ganjar, karena itu pasti akan sangat melukai perasaan ‘anak wedok’ semata wayang. Sebab bisa jadi ini adalah kesempatan langka yang terakhir yang bisa dimiliki oleh Puan untuk mencalonkan diri.
Maka pilihan yang paling realistis untuk menjaga asa bagi para pendukungnya, suka tidak suka Ganjar harus memilih ‘pindah ke lain body’ (ganti kendaraan politik), meski hatinya mungkin tetap tertambat di PDIP. Karena terbukti sikap dia yang ‘menganggungkan cinta harus dia tebus dengan duka lara’. Jika dia mau berpaling niscaya akan banyak partai yang akan menampungnya. Dan salah satu partai yang pasti wellcome untuk menerimanya adalah Golkar. Sebagai partai tengah dalam pengertian perolehan suara dan ideology, mungkin hanya di bawah pohon beringin itulah tempat dia yang paling nyaman untuk berteduh.
Bagi Golkar sendiri, akan sangat menguntungkan bila Ganjar mau berteduh di bawah pohon beringin. Karena jelas akan menjadi pupuk dan suplemen yang menggiurkan bagi pohon beringin. Dengan perolehan suara, suara: 17.229.789 (12,31%), Golkar hanya tinggal merayu beberapa partai tengah seperti Demokrat, PAN, PPP, PKB, Nasdem untuk memenuhi ketentuan presidential threshold. Hubungan mereka selama ini juga cukup akur. Untuk mendulang suara nama Ganjar pasti bisa menjadi magnet bagi calon pemilih. Tanpa terkecuali massa dari PDIP yang selama ini sering berikrar ‘pejah gesang nderek Banteng’ (hidup mati ikut banteng). Karena melambungnya nama Ganjar dalam sejumlah jajak pendapat itu bisa dipastikan jika respondennya adalah massa PDIP. Dalam pengertian hengkangnya Ganjar akan sangat merugikan dan menggembosi perut banteng yang gemuk.
Selain kualifikasi secara administartif yang sudah terpenuhi oleh keduanya. Kualifikasi tentang kapabilitas, integritas keduanya juga sudah cukup mumpuni. Bahkan keduanya dapat dipastikan akan bisa menjaga kesinambungan pembangunan. Karena bisa melanjutkan program-program Jokowi yang dinilai sudah baik dan tinggal melakukan sejumlah perbaikan terhadap program-program yang kurang. Peluang Erlangga memenangkan pertarungan Pilpres 2024 nanti kansnya cukup besar. Karena Menteri Koordinator Perekonomian ini memimpin partai tengah dalam pengertian ideologi serta perolehan suara, maka demi kehormatan partai, Golkar pasti akan berancang-ancang untuk mencalonkan ketua umumnya sebagai Capres 2024 nanti.
Erlangga diprediksi akan membawa iklim politik menjadi lebih sejuk karena gaya pendekatannya yang smooth. Personal image, Airlangga sebagai politisi yang santun sangat melekat kuat. Mantan Menteri Perindustrian ini nyaris tidak pernah terlibat perseteruan dengan politisi lain. Airlangga dikenal memiliki pola pendekatan yang elegan terhadap lawan-lawan politiknya. Pola pendekatan seperti itu diperlihatkan Airlangga ketika terpilih menjadi Ketum Golkar, Airlangga menghindari permis the winner take all dengan mengakomodir kubu lawan politiknya.
Karakter ini akan mempersempit potensi terjadinya kegaduhan politik serta polemik yang menguras energi apabila Airlangga mencalonkan diri sebagai Capres 2024. Karena publik pasti akan memaklumi kesalahan Partai Golkar di masa lalu, seperti halnya partai lain yang dinilai pernah membuat kesalahan, seperti Partai Demokrat yang kerap dikaitkan dengan kasus Hambalang, PKS dengan kasus daging sapi, kini Gerindra kasus benur udang serta PDIP dalam kasus Bansos. Terpilihnya partai tengah itupun bisa menjadi titik kompromi antara partai-partai Islam serta partai-partai nasionalis.
Sehingga pemerintahan baru yang terpilih akan bisa fokus dan kosentrasi dalam menjalankan program pembangunan. Airlangga juga bisa berperan sebagai dinamisator pembangunan. Untuk menciptakan kesinambungan pembangunan (sustainable), maka pasca pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK maupun Jokowi-Ma’ruf, program pembangunan periode selanjutnya adalah program pembangunan yang produktif. Karena fase selanjutnya, kita akan memasuki fase pay back period (pengembalian modal) dari belanja modal besar-besaran yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam membangun infrastruktur.
Dengan konsideran seperti itu maka program industrialisasi merupakan sebuah jawaban sekaligus keniscayaan. Apalagi program industrialisasi bisa mengakomodir angkatan kerja yang jumlahnya terus meningkat. Dalam konteks itulah Airlangga merupakan satu-satunya figur Capres yang memiliki wawasan kognitif yang memadai tentang proses industrialisasi. Airlangga merupakan konseptor handal yang bisa membuat blue print tentang revolusi industri sekaligus mengeluarkan bangsa ini dari kejumudan sebagai negara agraria yang terbukti tidak bisa melakukan ekstensifikasi pertanian.
Selain dinamisator pembangunan, Airlangga juga merupakan seorang eksekutor kebijakan yang tangguh serta memiliki kemampuan managerial yang mumpuni ketika menjadi Menperin. Program pembuatan berbagai kawasan industri terbukti efektif sebagai proses desentralisasi industri sekaligus menekan laju urbanisasi. Airlangga merupakan salah satu dari sedikit Menteri Kabinet Kerja yang cerdas menterjemahkan visi Presiden Jokowi terutama dalam menciptakan kemandirian ekonomi. Berbekal pengalaman seperti itulah, perolehan suara dalam Pilpres 2019 lalu sebesar 12,31% serta 85 kursi pasti akan meningkat secara signifikan.
Pasangan Gagah ini diperkirakan bisa membawa masa depan bangsa ini menjadi lebih baik. Gaya politik keduanya yang lentur terhadap kelompok kiri dan kelompok kanan akan mengurangi friksi politik di masyarakat. Sehingga bangsa ini bisa konsentrasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya melalui program pembangunan. Dan keduanya memiliki tipikal yang sama, suka menggunakan kampanye tematik untuk merangkul audiennnya ketimbang menggunakan jargon-jargon politik identitas yang sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa.***