Jakarta, Pro Legal– Fungsi pers itu diantaranya sebagai sarana penyaji informasi sekaligus alat kontrol sosial. Maka fungsi pers yang ideal menurut tokoh pers nasional PK Ojong adalah sebagai sarana pengontrol kebijakan pemerintah. Dengan fungsi yang cenderung oposan untuk mengkritisi setiap kebijakan pemerintah itulah Thomas Jefferson menempatkan pers sebagai pilar demokrasi ke empat.
Dengan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) pers seperti itulah maka sangat wajar jika hubungan antara pers dengan pemerintah itu penuh dengan dinamika. Seperti misalnya terbunuhnya Udin wartawan Bernas, termasuk dibredelnya beberapa media sebutlah Harian Indonesia Raya dan Harian Rakyat pada era Orde Lama hingga Majalah Tempo, Majalah Editor, Tabloid Detik pada era Orde Baru. Maka lembaga pers termasuk jurnalis adalah profesi yang sangat rawan terhadap intimidasi atau ancaman dari pihak-pihak yang tidak menginginkan borok pribadi atau institusinya diungkap melalui media.
Sehingga untuk menjadi pers yang independen dan berintegritas itu diperlukan kesetiaan terhadap profesi ketimbang kesetiaan kepada para pemodal. Karena dalam era industrialisasi pers seperti saat ini, banyak lembaga pers yang cenderung partisan sesuai dengan afiliasi politik dari pemilik modal. Maka tak mengherankan bila banyak lembaga pers yang tidak independen dan cenderung mengabdi kepada kepentingan politik pemiliknya.
Potret tentang pers yang penuh dinamika itulah yang ingin disajikan dalam buku ‘Kami Mantan Wartawan, Dari Sinar Harapan Sampai Suara Pembaruan’ yang ditulis oleh wartawan senior, Albert Kuhon. Buku ini mengupas problematika pers sekaligus romantika berdasarkan memoar para jurnalis senior yang pernah bergabung dalam group media Suara Pembaruan yang kini tinggal dalam sejarah.
Drama penodongan dan penangkapan termasuk romantika ketika menjalani tugas jurnalistik di medan peperangan banyak tersaji dalam buku ini. Termasuk sejarah bergabungnya para wartawan senior ini ke Suara Pembaruan. Dalam paparannya penulis mengungkapkan jika hubungan antara pemerintah dengan insane pers penuh dengan dinamika. Terkadang mesra namun di lain kesempatan sangat buruk. Hanya saat inilah ketika era pemerintahan Jokowi hubungan antara keduanya cukup baik.
Tetapi Albert juga tidak memaparkan jika, saat ini kehidupan pers nasional sangat miris. Berdasarkan data, pers nasional saat ini berguguran karena berbagai faktor. Setelah adanya kebijakan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) jumlah media yang tervirifikasi tercatat hanya ratusan. Padahal pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tercatat masih ribuan lembaga pers.
Selain karena ketentuan UKW, kebijakan pemerintahan Jokowi yang memotong anggaran sosialisasi hingga Rp 136 triliun pada awal pemerintahannya ternyata juga cukup berdampak. Karena belanja iklan dari berbagai lembaga pemerintah itu menurun drastis. Kalaupun toh masih ada itu hanya bisa diperoleh media-media besar (main stream). Faktor itulah yang menjelaskan kenapa media konvesional berguguran dan digantikan oleh Medsos yang tidak memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik.(gugus elmo rais)