- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Hukum Itu Objektif ?

Oleh : Houtland Napitupulu SH.MM.MH

Dialog dalam anekdot ini bisa menjadi joke sekaligus sebuah diskursus apakah hukum itu obyektif atau subyektif. Anekdot refleksi tentang problema lwa enforcement di Indonesia. Poniyem seorang ibu pensiunan pergi sendiri dengan speed boat ke tempat yang terlarang untuk memancing. Dan secara kebetulan kepergok oleh petugas. Datanglah petugas itu dan menegur Poniyem, “Selamat siang ibu”. Poniyempun membalas sapaan itu, “Selamat siang”.

Petugas itu langsung menegur Poniyem, “Tahukah Ibu kalau di tempat ini dilarang memancing.?”. Poniyem langsung menjawabnya, “Ya….., saya tau”, “Kalau begitu saya akan menangkap ibu…, karena ibu memancing di tempat yang terlarang,” sergah sang petugas. Tak jatuh mentalnya, Poniyem mempertanyakan dasar teguran sang petugas, “Apa pasalnya…, apakah ada tanda-tanda kalau saya mau memancing…..?”, protes Poniyem. Petugas, “Itu…, ibu kan bawa alatnya”.

Tak mau kalah gertak Poniyem menantang balik, “Kalau begitu…, saya juga akan melaporkan Bapak,”. Petugaspus jadi balik terkejut, “Ibu mau laporkan saya tentang apa.?. “Saya akan laporkan Bapak… akan memperkosa saya” lanjutnya. “Memang ada tanda-tanda saya mau memperkosa ibu…, menyentuh saja…, tidak,” tanya petugas dengan nada gusar. “Tapi kan Bapak bawa alatnya.!”, secara cerdik Poniyem melakukan serangan balik.

Anekdot itu bisa menjadi bahan analisa hukum bagi orang hukum. Dari dialog tersebut tampak petugas bertanya sama si ibu, apakah ibu tahu kalau ditempat ini dilarang memancing, ? dan ibu menjawab , ya saya tahu. Disini petugas hendak mengetahui mens rea/niat jahat si ibu, melalui pengetahuan dan kehendak si ibu yg disebut sebagai kesengajaan dalam hukum pidana.

Agar terbukti ada niat/mensrea, maka si ibu harus mengetahui perbuatannya melanggar hukum, dan meneruskan pengetahuannya itu menjadi suatu kehendak, dengan cara memancing di tempat yang dilarang. Jadi unsur pengetahuan dan kehendak sudah terpenuhi, itu lah cara membuktikan niat/mensrea. Terus bagaimana membuktikan adanya niat jahat itu yang ada dalam hati si pelaku.

Jika pengetahuannya atas sesuatu yang dilarang itu, sudah diwujudkan/direalisasikan dalam suatu perbuatan atau tindakan, maka yang bersangkutan sudah bisa disebut, sudah berkehendak, berarti sudah terbukti mensreanya. Jika hanya sebatas mengetahui saja, belum masuk sebagai mens rea, belum dapat dibuktikan. Jadi harus ada/terlihat kehendak atas pengetahuannya tersebu, dengan cara menindak lanjuti pengetahuannya tersebut menjadi suatu perbuatan. Hal ini terkait dengan pasal 53 KUHP tentang poging atau percobaan tindak pidana.

Selanjutnya petugas dalam joke diatas, mengatakan saya akan menangkap ibu…karena ibu memancing dan ibu sudah membawa alat pancingnya dan ini sebagai barang buktinya, lalu si ibu menjawab, Kalau begitu Saya akan melaporkan bapak karena hendak memperkosa saya, petugas,. Loh kenapa, apa buktinya, kata petugas, dan ibu menjawab, karena bapak sudah bawa alatnya yang lagi tergantung di celana bapak…hahhaha..
Apa yang dapat kita lihat dari cerita/dialog tsb.

  1. Petugas berpendapat sudah terjadi tindak pidana hanya berdasarkan pengetahuan si ibu, yaitu adanya larangan memancing. Dan si ibu sudah membawa alat pancingnya.Diatas disebut belum terbukti mens rea si ibu, karena pengetahuan tersebut belum diwujudkan dengan perbuatan iaitu memancing baru pada tahapan membawa alat pancing.
  2. Petugas berasumsi atau meramal bahwa si ibu akan menggunakan alat pancing tersebut untuk memancing ditempat yang dilarang. Pada hal hukum pidana melarang suatu asumsi, atau penafsiran atas sesuatu, apalagi ramalan dalam penegakan hukumnya, bisa berdampak pada ketidak pastian hukum atau sekarang ini disebut di kriminalisasi. Haruslah berdasarkan fakta hukum yang sebenarnya berdasarkan alat bukti yang sah, sehingga kebenaran materil dari hukum pidana dapat terwujud.
  3. Si ibu juga ngeles dengan menggunakan asumsi atau ramalan bahwa si petugas juga hendak memperkosanya, karena petugas sudah membawa alatnya yang sedang tergantung di dalam celana petugas. Akhirnya muncul fenomena saling membalas dengan saling melaporkan karena dinilai pihak yang dilaporkan sdh melakukan tindak pidana melalui mensrea nya. Itu sebabnya suatu undang-undang pidana yang memiliki rumusan pasal yang tidak konkrit, jelas tapi mengambang akan dapat menimbulkan penafsiran ganda, tergantung pada kepentingan si penafsir, seperti yang tampak pada pasal-pasal karet dalam Undang2 ITE. Akibatnya bertumpuk laporan ditempat penyidik, belum lagi kalau saling melapor dan laporan tersebut tidak bisa ditindak lanjuti dgn auatu tindakan penyidikan.
  4. Jika maksud si petugas diatas, hendak memproses si ibu dengan tuduhan percobaan tindak pidana/poging pasal 53 KUHP, yang unsurnya harus ada niat, dan unsur kedua harus ada permulaan pelaksanaan atau perbuatan persiapan. Unsur pertama berupa niat harus dibuktikan melalui, pengetahuan dan kehendak sipelaku atas perbuatan yang hendak dilakukannya, dan apa sudah ada unsur kedua iaitu tindakan permulaan pelaksanaan atau perbuatan persiapan, yah sudah ada iaitu membawa alat pancing. Terhadap fakta ini, ada dua teori nya, yaitu teori Subjektif menyatakan, jika sudah ada gerakan/tindakan yang menggambarkan pelaksanaan niat berupa permulaan pelaksanaan, seperti diatas membawa alat pancing ketempat pemancingan yang dilarang, maka unsur pertama dan kedua sudah terbukti, dan unsur ketiga pun sudah terbukti yaitu tidak selesainya tindak pidana yang dituju bukanlah karena kehendaknya tapi karena diluar kehendaknya, misalnya, keburu si petugas datang dan menangkap si ibu, shg tidak selesai pemancingan tersebut. Maka terhadap si ibu sudah bisa diterapkan pasal 53 jo pasal 362 KUHP, yaitu percobaan pencurian ikan dengan cara memancing yang diancam dengan pidana penjara maksimum dua pertiga (2/3) dari ancaman maksimumnya.
  5. Tapi jika kasus diatas dianalisis dari teori objektif yang menyatakan bahwa perbuatan atau permulaan pelaksanaan sudah sedemikian rupa dekatnya dengan tindak pidana yang dituju, (teori objektif ini yang dianut oleh KUHP kita), maka perbuatan si ibu belum dapat dipersalahkan melanggar percobaan pencurian ikan seperti diatas.

Karena yang dimaksud dengan tindakan atau gerakan sebagai permulaan pelaksanaan yang menggambarkan niat sipelaku, maka permulaan pelaksanaan itu harus demikian dekatnya dengan selesainya/terlaksananya tindak pidana yang dituju. Jika misalnya yang dituju adalh pencurian ikan dengan memancing, maka tindakan si ibu, harus terlihat/terbukti, bhwa si ibu sudah mendekati tepi kolam pemancingan, tapi ini belum cukup, jika si ibu ditanya ibu mau memancing kan ? Bisa saja si ibu ngeles dengan menjawab, tidak pak tapi mau buang air kecil.

Luput lagi. Atau saat si ibu hendak(belum) melemparkan tali pancing ke kolam, lantas ditangkap petugas, ibu mau melempar kail pancingnya ke kolam kan ? Si ibu ngeles lagi dgn menyatakan, tidak pak mau mengusir burung yg dipohon itu. Memang ribet dan rumit, hanya untuk memperoleh kebenaran yang sesungguhnya yang disebut abg kebenaran materil, dalam hukum pidana, bukan kebenaran rekayasa, atau hasil ramalan petugas melalui dugaan-dugaan.

Jadi petugas harus sabar menunggu, hingga ada gerakan berikutnya dengan cara melemparkan tali pancing yang berisi umpan dalam kail, saat itu lah petugas boleh menangkapnya. Pada saat itu sudah terpenuhi unsur kesatu dan kedua, serta unsur ketiga iaitu tidak selesainya pencurian ikan melalui pancingan tsb bukan karena kehendak si ibu, tapi karena keburu ditangkap oleh petugas. Sebalikbya jika sudah selesai si ibu memancing dan sdh ada ikan yang berhasil dipancingnya, maka perbuatan si ibu tidak lagi sbg pecobaan pencurian tapi sudah masuk kualifikasi pencurian pasal 362 KUHP yang ancaman pidananya penuh tidak dikurangi sepertiga iaitu 5 tahun.

Demikian cara menganalisis tindak pidana percobaan misalnya Percobaan tindak pidana pembunuhan didakwa melanggar pasal 338 KUHP jo pasal 53 KUHP, atau percobaan tindak pidana pencurian, didakwa melanggar pasal 363 KUHP jo pasal 53 KUHP. Pemahaman percobaan tindak pidana pasal 53 KUHP diatas, bermanfaat untuk menganalisa, apakah penerapan persangkaan pelanggaran pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan berencana, terhadap NA wanita yang mengirimkan sate yang sudah dibubuhi dengan racun sanida, sehingga mengakibatkan matinya orang lain yang tidak dikehendakinya, karena yang dituju atau dikehendakinya adalah kematian orang lain, iaitu orang yang diduga sebagai pacar atau teman dekatnya anggota polri, karena itu rencana yang sudah dilaksanakan oleh NA, tidak tercapai dengan sempurna.

Maka pada pelaku NA, paling tepat jika dipersangkakan melanggar pasal 53 KUHP jo Pasal 340 KUHP yaitu Percobaan Pembunuhan berencana, sedangkan perbuatan yang mengakibatkan kematian pada anak yang memakan sate beracun tersebut, dipersangkakan melanggar pasal 338 KUHP yaitu pembunuhan dengan sengaja sebagai kemungkinan atau dolus eventualis. Hanya saja pelanggaran atas kedua pasal tersebut tidak dipertanggung jawabkan secara berdiri sendiri, tetapi sebagai concursus idealis yang dijatuhkan hanya satu pidana yang terberat dari kedua pasal yang dipersangkakan.

• Penulis Dosen Fakultas Hukum UBK

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan