- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Haruskah Kita ‘Injak Kepala Orang’, Bila Kita Ingin Terlihat Lebih Tinggi Darinya

Ilustrasi (rep)

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Ada peristiwa yang menarik dalam forum debat calon presiden (Capres), Minggu (7/1/24) lalu. Dengan disparitas suara (berdasarkan hasil sejumlah lembaga survey)  yang relative tipis, maka  sangat lumrah bila para  calon tampil lebih agresif dan ‘ngegas’ tentu dengan pertimbangan akan memangkas margin nilai perolehan suara. Hingga saat  saat ini Paslon nomor 2 (Prabowo-Gibran) masih leading dengan margin yang signifikan. Dari sejumlah lembaga survey Paslon ini memperoleh suara rata-rata sekitar 40% . Diikuti oleh Paslon No 1 AMIN dan kemudian Paslon No. 3 yang menduduki peringkat ketiga.  Jika tidak ada perubahan konstelasi atau epicentrum politik maka dapat dipastikan jika Paslon nomor 2 (Prabowo-Gibran) akan lolos putaran kedua.

Mungkin dengan kalkulasi itulah, Anies Baswedan tampil lebih agresif seakan ingin menunjukan jika pasangan inilah yang paling progresif dibandingkan dengan lawan-lawannya. Sekaligus ingin menebalkan jargon perubahan yang selama ini menjadi tagline Paslon No 1 ini. Harus diakui branding dengan benchmark perubahan ini cukup berhasil mendongkrak perolehan suara Amin. Jika semula diragukan, bahkan banyak yang menganggap Anies adalah dagangan politik yang tidak laku dijual, tetapi dengan personality (yang kalem dan tidak reaktif) serta ability (terutama tentang public speaking) yang relatif lebih baik, secara perlahan perolehan suara Anies terus merangkak naik, bahkan mendekati perolehan suara dari koalisi jumbo (Prabowo-Gibran) sekaligus menyalip suara Ganjar yang sebelumnya merajai hasil survey.

Positioning Paslon AMIN dengan tageline Perubahan telah menempatkan AMIN-isme (visi-misi AMIN) sebagai antitesis dari Prabobowonomic/isme yang  merupakan sintesis dari Jokowinomic/isme. Sehingga margin yang diperoleh oleh kedua Paslon ini sangat tergantung dengan dinamika politik dan dinamika sosial yang terjadi di masyarakat serta dukungan dari kampanye tematik yang bisa dilakukan oleh masing-masing Paslon. Persaingan dengan menggunakan dikotomi antara AMIN-isme (perubahan) dengan Prabowo-isme (perbaikan dan penyempurnaan) itulah membuat positioning Paslon No 3 (Ganjar-Mahfud) seperti berada di luar jalur persaingan.

Karena Paslon AMIN secara otomatis akan meraup suara  dari segmen konstituen yang selama ini bersikap oposan dengan pemerintah plus dari kalangan swing votters (massa mengambang). Sementara Paslon No 2 memperoleh dukungan dari  suara yang loyal terhadap Jokowi, dan terbukti kelompok ini masih cukup besar. Karena angka  tingkat kepuasan public terhadap kinerja pemerintahan Jokowi lumayan baik.

Kondisi itulah yang menjelaskan kenapa perolehan suara Paslon No 3 terus mengempis dan terlihat tercecer dibandingkan dengan dua Paslon lainnya. Karena Paslon ini murni mengandalkan subsidi suara dari  die hard (pendukung garis keras) PDIP plus sejumlah partai yang terbilang lebih kecil ketimbang Paslon AMIN maupun Paslon No 2 (Prabowo-Gibran). Hal itu terlihat dari perolehan suara sementara Paslon  Ganjar-Mahfud yang tidak jauh dari angka 20% yang bisa dibilang sebagai net margin PDIP yakni konstituen yang biasa memiliki semboyan ‘pejah gesang nderek Mega’(hidup mati ikut Mega).

Dengan konstelasi itulah, maka bisa dipahami jika dua Paslon yakni No 1 (AMIN) dan 3 (Ganjar-Mahfud)  tampil lebih agresif terutama terkait isu pertahanan. Isu tentang pembelian pesawat bekas yang yang cukup membuat Prabowo kerepotan. Namun, menurut saya Anies  dalam forum itu sedikit melakukan blunder  ketika menyinggung tentang kepemilikan lahan milik Prabowo. Dan itu mengulangi apa yang pernah dilakukan oleh Jokowi dalam Pilpres 2019 lalu. Beruntung, Prabowo tidak menggunakan isu itu untuk menyerang balik, misalnya bila Prabowo mengatakan, “Saya memang memiliki lahan seluas itu dan hasilnya sebagian saya hibahkan untuk kegiatan politik partai Gerindra   yang hasilnya salah satunya berhasil menempatkan Anda maupun Pak Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta,” maka bisa dibayangkan penilaian publik  yang bisa saja menganggap dia sebagai sosok kacang yang lupa dengan kulitnya. Walaupun  Anies pasti punya pertimbangan jika menyangkut kebenaran itu harus tetap diungkapkan minimal sebagai sarana amar ma’ruf nahi munkar, qullil haq wallau ayyah, qullil haq wallau qana muran (katakanlah kebenaran itu sekalipun pahit bagimu).

Blunder itu setidaknya bisa dilihat dari beberapa aspek, personality Anies yang selama ini dikenal cool dan defensive serta tidak reaktif  ketika dirinya menjadi bulan-bulanan sekelompok masyarakat yang suka meframing dirinya membawa politik identitas, tetapi Anies secara elegan mampu menjawabnya. Bahkan tidak sedikit kelompok yang semula bersebarangan kini beralih di belakang barisan Anies. Tetapi dalam forum debat Capres putaran ketiga itu personality Anies terlihat berubah. Anies seperti keluar dari pakem personalnya. Tetapi sebagai alumni program S2 di University of Maryland, School of Public Policy, College Park, Amerika Serikat dan S3-nya di  Northern Illinois University, Department of Political Science, Dekalb, Illinois, Amerika Serikat, tentu Anies punya pertimbangan sendiri.

Hal itu bisa juga dipandang sebagai sikap yang tidak mencerminkan sikap yang sesuai dengan falsafah Jawa, mikhul duwur mendhem jero  (mengangkat tinggi-tinggi dan mengubur dalam-dalam) terkait sesuatu yang menyangkut seniornya, tentu dalam konteks bila hasil kepemilikian lahan Prabowo itu lebih banyak digunakan untuk  hal-hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal-hal yang mudharat. Karena mustahil juga kepemilikian lahan itu tidak ada masalahnya. Dan itu adalah hal yang lumrah.

Intinya forum debat Capres putaran ke 3 kemarin tidak menghasilkan rumusan yang fundamental serta gagasan yang original. Semua pendekatannya sangat normatif dan cenderung menjadi ajang saling serang secara personal, seperti istilah dalam flokor Jawa, ngasorake kanggo ngalahake (mempermalukan untuk mengalahkan) padahal falsafah Kesatria Jawa itu harus bersikap sebaliknya, ngalahake tanpo ngasorake (mengalahkan tanpa harus mempermalukan).

Jadi sangat disayangkan, dalam forum yang sebenarnya sangat strategis dan menjadi forum widow dressing (kontes kecantikan) itu para Paslon belum memiliki think thank qualified yang bisa melahirkan forum  perdebatan itu menjadi ideological battlefield (pertempuran ideologi) yang fundamental. Tetapi sebaliknya, yang terjadi justru ada sikap saling ‘injak kepala’ lawan agar dirinya terlihat lebih tinggi darinya.(***)

  • Penulis adalah Direktur Kajian Poleksosbudkum, Cakra Emas Syndicate
prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan