Hakim Juga Manusia Biasa, Namun Komisi Yudisial Belum Mengawasi Kehormatan, Keluhuran Martabat Serta Perilaku Hakim
@ Kritik terhadap Rekrument Calon Hakim Agung
Oleh : Hamonongan Saragih SH.MH
Perkataan hakim adalah manusia adalah fakta tak tergugat, sehingga pemikiran ini juga yang melandasi lahirnya Komisi Yudisial diera reformasi dan tidak tanggung-tanggung. Selanjutnya keberadaan KY termuat dalam UUD 1945, hal ini merupakan kewajiban bagi institusi KY untuk membenahi, dan menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sebagaimana tertuang dalam UU No. 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;
Penulis berpendapat tugas utama KY adalah menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, karena karakter dan perilaku hakim mencerminkan karakter Negara Republik Indonesia, dan juga sangat mempengaruhi citra bangsa Indonesia dimata masyarakat Internasional. Sadar hakim adalah manusia biasa sewajarnya hakim diberikan income yang mumpuni dan dipagari dengan aturan-aturan yang ketat untuk mengisolasi hakim terhadap tawaran/bujuk rayu dari pihak yang berperkara dengan menempuh jalan pintas;
Maka seharusnya KY focus untuk mengawasi pergaulan para hakim di tengah-tengah masyarakat, yang rentan dipengaruhi dan keinginan untuk hidup glamour. Bahkan secara ekstrim perlu cara-cara yang ektra ordinary, seperti misalnya: hakim dan keluarga tinggal dalam satu komplek perumahan yang sudah disiapkan negara, dan kendaraan dinas mobil yang diberi negara, serta penghasilan bulanan minimal Rp. 25 Juta sampai Rp. 1 milyar;
Mencermati rekrument Hakim Agung yang sedang berjalan, KY masih melakukan rekrument dengan persyaratan administrasi yang sama sekali tidak berkaitan dengan kehormatan, keluruhan martabat serta perilaku hakim, sehingga akan sulit menghasilkan hakim yang memiliki integritas yang tinggi. Maka sudah saatnya KY membuat aturan yang mewajibkan hakim menandatangi pakta integritas, isinya bersedia diperiksa/diaudit seluruh harta kekayaan setiap tahun oleh KY dan menggunakan kartu ATM/kredit setiap melakukan transaksi, terlebih Hakim Agung sebagai benteng terakhir keadilan;
Maka hakim adalah manusia merupakan pintu masuk diberlakukannya penerapan pengawasan hakim (reward and punishment), serta mewajibkan hakim selalu memakai simbol/lambang hakim setiap berinteraksi dengan masyarakat, hal ini untuk selalu meng-ingatkan selalu sebagai seorang hakim, dan hal yang bersamaan juga agar masyarakat dapat mengenali yang bersangkutan sebagai hakim, maka masyarakat dibuatkan akses (aplikasi pengaduan atas prilaku hakim) langsung dan dapat melaporkan bila ditemukan pelanggaran kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim sesegera mungkin.
Bila perlu diberikan persyaratan yang menwajibkan bagi calon hakim agung wajib mendapatkan dukungan tanda tangan sedikitnya 50 orang ustad bagi yang beragama Muslim dan juga 50 tanda tangan pendeta dari dedominasi 15 organisasi gereja yang berbeda, dan juga 50 tanda tangan pendeta bagi yang beragama Hindu dan Budha. Ini salah satu terobosan yang ditawarkan penulis, agar setidaknya keterlibatan rohaniawan akan ikut memberikan masukan agar Calon Hakim Agung khususnya setidaknya diingatkan akan adanya kehidupan setelah kematian.***
Penulis,
Aktivis Sosial dan Pendiri Forum Komunikasi Keadilan Masyarakat Batubara dan Penasehat Hukum Jembatan Kemajuan Bangsa