Jakarta, Pro Legal News – Banyak pihak selama ini berpikir, air bumi Jakarta dikuasai dan dikelola PDAM DKI Jakarta untuk memenuhi kebutuhan hidup warga Ibukota. Ternyata Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemprov DKI, hanya dijadikan pajangan atau bemper dua perusahaan asing yang menguasai isi bumi Jakarta.
Puluhan tahun PDAM DKI dibuat tidak berdaya oleh dua perusahaan swasta milik asing yang menguasai air minum di Jakarta yakni, PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonaise Jaya (Palyja). Gubernur DKI Anies Baswedan kini dituntut untuk mengambil alih pengelola air bumi Jakarta dari genggaman perusahaan asing kembali ke Pemprov DKI untuk kemakmuran dan kesejahteraan warga Jakarta.
Ingat isi kampanye Anies ketika maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pada 2017. Anies berjanji kepada warga Jakarta bahwa dia akan memakmurkan dan mensejahterakan warga Jakarta jika dirinya dipercaya dan terpilih menjadi orang nomor satu di Jakarta.
Warga Jakarta sudah memberikan kepercayaan, kini warga menuntut janji kampanye Anies yang sudah memasuki satu tahun kepemimpinannanya di Jakarta. Salah satu tuntutan warga adalah terkait pengelolaan air bumi Jakarta yang puluhan tahun keuntungannya dinikmati dua perusahaan asing itu.
Tidak susah bagi Anies untuk mewujudkan tuntutan masyarakat Jakarta terkait pengelolaan air. Sebab, putusan Mahkamah Agung (MA) sudah jelas memerintahkan pengelolaan air harus dikembalikan ke Pemprov DKI Jakarta. Putusan MA juga didukung putusan Mahkamah Kontitusi (MK) yang membatalkan Undang-undang terkait pengelolaan air bumi di Tanah Air.
Disimak dari putasan MA dan MK, tidak ada celah bagi pihak mana pun termasuk Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk tidak melakukan atau melaksanakan putusan MA. Banyak pihak mempertanyakan kenapa sampai sekarang Anies selaku penguasa Jakarta belum juga melaksanakan putusan MA yang nota bene sangat menguntungkan Pemprov DKI Jakarta.
Memang harus diakui banyak pihak ikut mengambil keuntungan di balik pengelolaan air bumi Jakarta yang dikuasai dua perusahaan asing tersebut. Data yang diperoleh Majalah Pro Legal dan Portal Berita www.prolegaslnes.co.id terkonfirmasi keuntungan yang didapat dua perusahaan asing itu sangat besar yakni, Rp 1 triliun lebih setiap tahun.
Sebaliknya, PAD yang diterima Pemprov DKI sangat kecil, dari PAM Jaya. Selama ikatan kontrak berjalan sejak 1997 hanya berjumlah Rp 108 miliar lebih. Anehnya lagi, selama ini sering terdengar setiap tahunnya PDAM Jaya DKI Jakarta mengalami kerugian dan harus menyuntik dana segar yang jumlahnya cukup besar.
Dalam hal ini Pemprov DKI selama puluhan tahun terkesan tutup mata. Namun ada pihak lain di luar pemerintah melihat Pemprov DKI telah dibohongi pihak swasta dalam pengelola air minum.
Mereka akhirnya mengajukan gugatan ke pengadilan agar pengelola air minum di Jakarta dikelola sepenuhnya oleh Pemprov DKI, bukan perusahaan swasta. Perjuangan 10 pihak yang diwakili LBH Jakarta selaku kuasa hukum dikabulkan Mahkamah Agung (MA) dengan Keputusan Nomor 31 K/Pdt/2017.
Dalam putusan itu, MA secara tegas memerintahkan penghentian kebijakan swastanisasi pengelolaan air minum yang menjadi hak PDAM Jaya selaku BUMD DKI dengan pihak swasta PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonaise Jaya (Palyja).
Namun hingga kini Pemprov DKI khususnya Anies Baswedan selaku gubernur belum juga melakukan pemutusan hubungan kerja sebagaimana perintah dan putusan MA yang kini sudah memasuki satu tahun lebih. Kalau mau jujur putusan MA sekaligus mementum PDAM Jaya untuk mandiri dalam mengelola air minum bagi warga Jakarta.
Dalam putusannya MA yang dikeluarkan pada April 2017 menyatakan, para tergugat (jajaran pemerintah dan dua perusahaan itu) telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta. MA juga menyeroti Pembuatan Perjanjian Kerjasama (PKS) tertaggal 6 Juni 1997 yang diperbaharui dengan PKS tanggal 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat itu.
Data yang diperoleh Pro Legal menyebutkan ada sejumlah dana terparkir di rekening escrow (rekening bersama) Rp 14,2 miliar lebih berpotensi disalah gunakan. Data lain realisasi anggaran dan realisasi PD PAM Jaya tahun 2015 dan 2016 sampai semester 1 total realisasi sebesar Rp 6.309.389.199.455,-.
Jumlah itu terdiri dar total realisasi pendapatan senilai Rp 3.263.835.453.758,- (Rp 2.627.291.190.326,- + Rp 636.544.263.432,-) dan total realisasi beban nilai Rp 3.045.553.745.697,- (2.450.775.551.913,- + Rp 594.778.193.784,-).
Atas anggaran dan realisasi itu ditemukan dugaan penyimpangan Rp 128.716.676.042,- atau 2,04 persen dari realisasi anggaran senilai Rp 6.309.389.199.455,-. Jumlah ini terdiri atas kerugian daerah sebesar Rp 6.729.882.449,- ditambah kekurangan penerimaan Rp 2.465.713.250,-. Selain itu ditambah temuam administrasi Rp 117.831.599.180,- dan temuan 3E sebesar Rp 1.689.481.163,-.
Data yang lebih mengagetkan lagi disebutkan setiap tahun mitra swasta PAM Jaya dari perusahaan asing mendapat laba Rp 1 triliun lebih. Sedang data kontribusi PAD ke Pemprov DKI Jakarta selama perikatan perjanjian kerja dari tahun 2001 sampai 2015 ( selama 14 tahun) hanya kebagian Rp 108 miliar lebih. Malah tahun 2004, PD PAM Jaya mendapat suntikan dana penyertaan modal pemerintah sebesar Rp 35 miliar.
Pihak PDAM yang dipercaya untuk mengelola air minum di Jakarta seharusnya lebih agresif untuk melaksanakan putusan MA, malah terkesan diam saja. Anehnya lagi pihak Kementarian Keuangan RI yang menjadi salah salah tergugat malah mengajukan peninjauan kembali atas putusan MA yang kalau mau jujur sangat menguntungkan pemerintah khususnya Pemberintah DKI Jakarta.
Adanya berbagai temuan-temuan itu semakin mengindikasikan bahwa swastanisasasi pengelola air minum di Jakarta bukan menguntungkan, malah sangat merugikan. Untuk keberimbangan pemberitaan (cover both side), Majalah Pro Legal dan Portal Bwrita www.prolegalnews.co.id telah mengirim surat resmi konfirmasi kepada Dirut PDAM DKI Jakarta pertengahan 2018.
Namun hingga berita ini ditunrukan tidak ada tanggapan dan jawaban dari pihak PDAM. Malah mereka terkesan mengabaikan data temuan itu. Surat resmi juga dikirimkan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga tidak ada tangapan. tim