Oleh : Gugus Elmo Rais
Hingga detik ini, mungkin saya adalah salah satu orang yang menyesali kegagalan Indonesia sebagai tuan rumah ajang piala dunia U-20. Karena pertandingan sepak bola (meski masih dalam kategori kelompok umur) menurut saya sebagai penikmat sepak bola non fanatik adalah tontonan sufi. Sepak bola bisa menyatukan gairah dan harapan suatu bangsa sekaligus menjadi media eskpresi dari politik identitas apapun latar belakang tim sepak bola itu sendiri. Sehingga setiap pertandingan sepak bola terutama adalam event-event besar seperti Piala Dunia, Piala AFF, Piala Eropa dll merupakan akumulasi dari doa dan harapan setiap bangsa yang diwakili oleh Timnas masing-masing.
Kemenangan sebuah Timnas akan selalu melahirkan euphoria yang terkadang menjadi sebuah kompensasi dari tekanan sosial, ekonomi termasuk juga politik. Sebaliknya kekalahan Timnas bisa dianggap sebagai aib yang memalukan. Bahkan tidak jarang tim sepak bola bisa menjadi simbol perlawanan dari kekuatan yang inferior terhadap kekuatan yang superior dan hegemonik. Sebutlah tim profesional sekelas Barcelona ternyata juga menjadi simbol perlawanan dari Suku Basqeu maupun Catalan di Provinsi Catalonia untuk melawan hegemoni Madrid, setelah beberapa kali upaya referendum untuk memerdekakan diri dari Spanyol menemui kegagalan.
Begitu juga halnya, setelah kalah perang melawan Kerajaan Inggris dalam memperebutkan Pulau Fakland atau yang lebih dikenal dengan Pulau Malvinas (1982), junta militer dibawah komando Leopoldo Galtieri seperti kehilangan muka. Apalagi setelah Argentina menderita kerugian yang cukup parah dengan tewasnya 649 pasukannya serta tertangkapnya 11.313 tentaranya. Membuat negeri Evita Peron itu harus terisolasi dari pergaulan internasional terutama oleh negara-negara anggota persemakmuran.
Dan ternyata kesempatan balas dendam Argentina terhadap Inggris itu bisa dilakukan melalui sepakbola yakni ketika Piala Dunia 1986 di Meksiko, saat itu Maradona cs bisa membungkam Inggris dengan skor (2-1) salah satunya melalui ‘Gol Tangan Tuhan’. Sepak bola secara tidak langsung kembali menjelma menjadi senjata politik identitas Bangsa Argentina.
Alasan itulah yang bisa menjelaskan kenapa seluruh penggemar sepak bola di Indonesia merasa terpukul (termasuk saya) dengan pencopotan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U 20. Pencopotan itu tak ubahnya seperti palu gada yang menghancurkan mimpi-mimpi Garuda muda. Maklum ini adalah kesempatan langka yang sulit terulang bisa berlaga di pentas dunia, hanya karena memiliki home advantage (keuntungan sebagai tuan rumah) tanpa harus bersusah payah melalui babak kualifikasi.
Hancurnya mimpi-mimpi Garuda muda itu bermula dari penolakan sebagian elemen masyarakat atas keikut sertaan Israel di ajang Piala Dunia U 20 yang rencananya digelar di enam kota di Indonesia. Sikap yang dinilai oleh FIFA sebagai upaya mencampur adukkan antara politik dengan oleh raga. Dosa itulah yang membuat FIFA murka dan membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah. Dalam ‘kitab suci’ FIFA berupa statuta terutama point ke 3 dan 4 Statuta FIFA telah dinyatakan : 3 Non-discrimination and stance against racism discrimination of any kind against a country, private person or group of people on account of race, skin colour, ethnic, national or social origin, gender, language, religion, political opinion or any other opinion, wealth, birth or any other status, sexual orientation or any other reason is strictly prohibited and punishable by suspension or expulsion.(Non-diskriminasi dan pendirian menentang diskriminasi rasisme dalam bentuk apa pun terhadap suatu negara, orang pribadi atau kelompok orang karena ras, warna kulit, etnis, asal kebangsaan atau sosial, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, kekayaan, kelahiran atau status lainnya, orientasi seksual atau alasan lain apa pun dilarang keras dan dapat dihukum dengan skorsing atau pengusiran).
Sementara dalam 4 Promoting friendly relations (mempromosikan hubungan persahabatan), FIFA shall promote friendly relations: (FIFA akan mempromosikan hubungan persahabatan):
a. between members, confederations, clubs, officials and players. Every person and organisation involved in the game of football is obliged to observe the Statutes, regulations and the principles of fair play; (antara anggota, konfederasi, klub, ofisial dan pemain. Setiap orang dan organisasi yang terlibat dalam permainan sepak bola wajib menaati Anggaran Dasar, peraturan dan prinsip-prinsip fair play)
b. in society for humanitarian objectives (dalam masyarakat untuk tujuan kemanusiaan).
Maka bila dilihat secara letter leks, sikap sebagian elemen masyarakat tanpa terkecuali yang ditunjukan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Gubernur Bali, I Wayan Koster sebagai bentuk intervensi pemerintah daerah sekaligus sikap yang diskriminatif.
Tetapi bila kita telaah sanksi FIFA berupa pencabutan status Indonesia sebagai tuan rumah itu merupakan sikap yang cengeng, grusa-grusu dan anti demokrasi bahkan FIFA telah menerapkan standar ganda. Seharusnya pemberian sanksi itu menunggu sikap final dari pemerintah Indonesia di tingkat pusat. Karena berbagai bentuk penolakan itu merupakan bentuk dinamika demokrasi di Indonesia dan penolakan itu dilakukan oleh segelintir kecil elemen masyarakat Indonesia yang memiliki sekitar 270 juta jiwa.
Bukankah ketidak mauan FIFA memberikan sanksi terhadap Indonesia sebagai imbas dari Tragedi Kanjuruhan yang jelas-jelas Panpel telah mengabaikan statute FIFA tentang Stadium Safety and Security Regulations,hanya karena animo penonton Timnas Indonesia sangat ‘gila’. Padahal dalam pasal 19 tentang Pitchside stewards huruf b) tertulis, “No firearms or ‘crowd control gas’ shall be carried or used (yang isinya melarang penggunaan gas air mata). Toh dalam kasus Tragedi Kanjuruhan itu FIFA memaklumi dan hanya memberikan hukuman yang kecil berupa pelarangan pertandingan Timnas Indonesia disaksikan oleh penonton, meskipun tragedi itu menelan korban sekitar 135 jiwa tewas.
Justru kalau ditelaah secara jernih sikap Bli Koster maupun Mas Ganjar itu murni ekspresi kemanusiaan. Karena Bli Koster adalah sosok yang merepresentasikan masyarakat Bali yang mayoritas penganut Hindu, artinya sikap Bli Koster tidak mungkin dilandasi oleh sentimen kedekatan ideologi dan sentimen agama yang sering menjadi latar belakang publik dalam menyikapi konflik Israel–Palestina. Dengan pengertian Koster tidak memiliki kepentingan apapun kecuali kepentingan kemanusiaan dan turut serta menciptakan perdamaian dunia sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Bahkan kalau ditarik lagi itu justru sesuai dengan point ke 4 huruf b yang bertujuan untuk kemanusiaan.
Tetapi niat baik Bli Koster maupun Mas Ganjar itu memang bisa dimaknai sebagai the righ issue in the wrong time (isu yang baik tetapi disampaikan dalam waktu yang salah). Kedua tokoh itu tidak memliki senses of timing yang pas. Keduanya lupa meskipun sekarang ini kita menganut sistem otonomi daerah yang menempatkan setiap kepala daerah mempunyai hak otonom untuk bertindak dan menyampaikan pendapat, keduanya lupa bahwa ajang Piala Dunia U- 20 adalah hajatan PSSI dan pemerintah pusat yang diantara tujuannya selain untuk menggairahkan minat olah raga sekaligus meningkatkan daya kompetitif pemain bola di Indonesia tetapi juga untuk meningkatkan revenue dari sektor pariwisata termasuk Jawa Tengah dan Bali yang notebene ikut terlibat sebagai tuan rumah di Stadion Manahan Solo dan Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Bali. Seyogyanya sebelum menyatakan sikap, Koster dan Ganjar harus koordinasi dengan pemerintah pusat, toh mereka berasal dari rahim politik yang sama yakni PDI-P. Perlu kehati-hatian dan sikap bijak dalam menyampaikan pendapat yang akhirnya justru berujung kerugian yang harus diderita oleh pemerintah dan masyarakat luas.
Yang tak kalah menarik kenapa Presiden FIFA, Gianni Infantino begitu grusa grusu untuk memberikan sanksi pencabutan status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U 20. Kenapa si botak ini tidak memberi waktu lebih kepada Indonesia untuk melakukan konsolidasi. Apakah karena ini menyangkut Israel yang notabene memiliki jaring loby-loby Yahudi sangat kuat. Justru sikap Gianni yang saklek itu kini menjadi ‘senjata politik’ yang mematikan bagi Israel untuk menekan Indonesia yang selama ini tidak mau membuka pintu diplomatik. Israel telah mencari berbagai cara untuk membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Kalaupun toh Gianni meragukan jaminan keamanan terhadap seluruh kontestan, saya yakin Polri sangat bisa memberikan jaminan itu. Gianni lupa masyarakat Indonesia itu terkadang hanya garang di omongan tetapi santun di perilaku. Ingat ketika terjadi genoside yang dilakukan oleh rezim Min Aung Hlaing terhadap etnis Rohingya di Myanmar, dunia sempat mengutuk keras tanpa terkecuali Amerika Serikat sempat memberikan sanksi. Masyarakat Indonesia pun ikut marah dan mendesak AFC untuk memberikan sanksi dan melarang keikut sertaan Timnas Myanmar diajang Piala AFF, toh ketika turnamen itu terselenggara di Indonesia, tidak satupun pemain maupun official Timnas Myanmar yang dicolek oleh masyarakat Indonesia. Begitu juga halnya masyarakat Indonesia mengecam keras konflik di Uighur, toh masyarakat Indonesia tidak pernah mengusik sedikitpun atlit-atlit China saat bertanding di Indoensia.
Napsu FIFA untuk menghukum dan memberi sanksi tambahan ke Indonesia justru menimbulkan pertanyaan besar. Ada agenda politik apa dibalik itu semua. Dugaan FIFA menerapkan standar ganda pun sangat layak untuk diapungkan, pada tahun 1974 sekitar 17 dari 30 negara-negara di Asia menolak keikut serta Israel pada ajang Asian Game. Sehingga akhirnya pada tahun 1994 UEFA menampung keanggotaan Israel faktanya FIFA diem bae dan tidak memberikan saknsi apapun kepada Negara-negara yang menolak tersebut. Secara terang-terang FIFA dan UEFA juga telah melarang keikut sertaan Timnas Rusia dalam berbagai ajang tournamen karena alasan serangan Rusia ke Ukrania. Tetapi dalam kasus Indonesia, boro-boro mengingatkan Israel yang secara intens menyerang penduduk di kawasan jalur Gaza, baru ada suara menolak saja FIFA justru buru-buru memberi sanksi.
Maka Pemerintah Indonesia memerlukan negosiator dan diplomat ulung dalam menyikapi sanksi FIFA ini. Kita begitu gagah menghadapi Uni Eropa yang mempersoalkan hilirisasi tambang Nikel serta begitu digdaya dalam membungkam Vanuatu di PBB, tetapi kenapa begitu letooy saat menghadapi si botak Gianni. Jangan biarkan FIFA mendikte kita hanya untuk menyenangkan kepentingan politik Israel.(***)
I