- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Fenomena Budak Teknologi Yang Dungu

(rep)

Oleh : Gugus Elmo Rais

Pakar komunikasi sekaligus seorang penulis,  John Naisbit dalam bukunya  High Tech, High Touch  membuat hipotesa yang menarik dengan mengatakan bahwa manusia modern cenderung menjadi budak teknologi. Hipotesa Naisbit itu  berdasarkan realitas empiris jika semua aspek kehidupan saat ini  telah melalui proses digitalisasi. Sehingga dengan kemajuan teknologi itu semua aspek kehidupan bisa diakses melalui perangkat teknologi informasi.

Nyaris semua dimensi kehidupan  bersentuhan dengan teknologi digital, sehingga manusia benar-benar dimanjakan dengan teknologi. Tetapi tanpa sadar dengan kemudahan digitalisasi, manusia cenderung kehilangan kontrol dan menjadi budak teknologi. Penggunaan  idiom ‘budak teknologi’ itu menjadi sangat tepat, sebagai sebuah deskripsi tentang individu yang telah kehilangan otoritas terutama otoritas moral tentang dampak yang akan ditimbulkannya dari setiap proses digitalisasi.

Seperti misalnya memfitnah atau menghujat orang lain melalui media sosial (Medsos)  atau menyebarkan konten-konten yang bertentangan dengan norma-norma kesusilaan. Karena semua bisa dilakukan dan diupload secara mudah tanpa  adanya kontrol  maupun sensor secara pribadi (self sensorsif) yang berbasis dari moral dan ilmu pengetahuan. Dalam beberapa waktu terakhir ini banyak sekali persoalan hukum yang berhulu dari ketidak tahuan masyarakat tentang UU ITE. Yang terkini ada seseorang yang menghujat Presiden Jokowi melalui media sosial.

Di sinilah pentingnya ilmu pengetahuan baik pengetahuan tentang norma kesusilaan atau norma hukum. Filsuf yang terkenal pada zaman renaissance, Francis Bacon pernah membuat ungkapan yang menarik, the knowledge is power (pengetahuan itu adalah kekuasaan). Secara etimologis ungkapan itu menunjukan  betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi kelangsungan hidup umat manusia. Pengetahuan serta penguasaan informasi menjadi elemen penting untuk merawat nalar manusia sekaligus menjadi panduan moral dalam menjalani kehidupannya.

Apalagi tipologi masyarakat kita itu seperti seloka Jawa,  gampang latah lan  gumunan (gampang kagum dan ikut-ikutan).  Kondisi itu tidak terlepas dari realitas sosial masyarakat kita yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang status sosial, ekonomi dan pendidikan masing-masing individu. Apalagi, Climford Geerzt telah membuat tipologi sosial masyarakat, terutama untuk masyarakat Jawa yang menjadi tiga kelompok yakni masyarakat priyayi, santri dan abangan. Sehingga daya nalar mereka pasti berbeda-beda sesuai dengan skala kepentingan masing-masing kelompok.

Disinilah pentingnya pembekalan kepada masyarakat tentang kaidah-kaidah moral  berdasarkan nilai-nilai seperti nilai agama, tata krama maupun adat istiadat. Dan yang tak kalah penting adalah norma-norma hukum positif seperti misalnya norma-norma berdasarkan Undang Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Karena faktanya, meski UU lex specialist itu cukup familiar di telinga masyarakat. Tetapi faktanya secara substansi masih banyak masyarakat kita yang tidak paham tentang larangan-larangan sekaligus ancaman hukumannya. Karena selama ini pemerintah hanya ‘bersembunyi’ dibalik fiksi hukum, persumpsion iures de iure (bahwa masyarakat dianggap tahu hukum).

Maka sosialisasi tentang  norma hukum sebagai proses pembekalan masyarakat tidak boleh berhenti. Karena secara kosmos bangsa  ini sedang menjalani proses transisi dari system yang tertutup menjadi system yang sangat terbuka. Tahapan euforia ini harus tetap dikawal agar tidak terjadi kebebasan yang kebablasan yang pada akhirnya bertabrakan dengan kebebasan pihak lain. Karena bila kebebasan ini tidak dimanage dalam managemen kebangsaan yang baik justru berpotensi terjadi benturan yang bukan tidak mungkin mengarah terjadinya disintegrasi bangsa.

Masyarakat yang melek hukum sebagai produk pembekalan secara terus-menerus secara otomatis akan mengurangi jumlah ‘budak teknologi yang dungu’. Karena munculnya kesadaran jika semua perbuatan mereka ada ancaman hukumnya. Dan setiap orang pasti tidak mau jika bersentuhan dengan hukum  yang berujung pada sanksi pidana. Karena proses pidana harus ditempatkan pada posisi ultimum remedium, sebagai langkah terakhir untuk menunjukan wibawa hukum yang bersifat afirmatif seperti teori Hans Kalsen, maupun Austin. Upaya itu sekaligus untuk memberikan efek jera terhadap masyarakat seperti tesisnya Jeremy Bentham melalui teori utilitarianisme.

Agar energi bangsa ini tidak terkuras untuk hal-hal yang mubazir seperti untuk membahas masalah hoaks, fitnah dan pencemaran nama baik maka hal itulah yang harus   dicermati oleh para cerdik cendikia kita serta para pengambil keputusan, apakah sosialisasi  norma hukum serta model demokrasi yang kita anut dan kita jalankan sekarang sesuai dengan tipologi sosial masyarakat kita. Bila memang pilihan itu sudah final, bagaimana cara kita melakukan rekayasa sosial, sehingga masyarakat kita benar-benar siap berdemokrasi dengan cara yang baik dan benar. Serta mengetahui norma hukum sekaligus dampaknya bila melanggar hukum.   ***

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan