Faktor-Faktor Yang Bisa Membuat Prabowo Tergelincir

Oleh : Gugus Elmo Rais
Sebulan menjelang pendaftaran pasangan calon (Paslon) Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres), mungkin baru kubu Capres Prabowo Subianto yang sudah bisa tersenyum lebar, karena sudah menikmati ‘panen raya’ berupa arus dukungan yang terus mengalir dari berbagai kalangan. Hingga saat ini kubu Prabowo tercatat meraup dukungan dari partai koalisi di Senayan sebesar 46,09 suara di parlemen atau sekitar 265 kursi yang terdiri dari Fraksi Partai Golkar 85 kursi atau 14,78 persen, Fraksi Partai Gerindra 78 kursi atau 13,57 persen, dan Fraksi PAN 44 kursi atau 7,65 persen serta Fraksi PKB 58 kursi atau 10,09 persen.
Walaupun kemudian Fraksi PKB pindah ‘kelain hati’, namun koalisi ini masih ada kemungkinan mendapat suara tambahan dari suara Fraksi Demokrat yang terlihat masih ‘galau’ setelah ‘bercerai’ dengan Koalisi Perubahan. Bahkan koalisi pendukung Prabowo, semakin tambun setelah mendapat suntikan suara dari partai-partai non parlemen seperti PBB, PSI maupun Partai Gelora. Itupun belum terhitung jumlah suara dari para ‘pembelot’ seperti beberapa Ormas relawan pendukung Jokowi yang notabene sebelumnya berafiliasi dengan PDIP seperti Projo maupun Joman serta sejumlah elit partai itu yang telah menyatakan berpindah haluan dan berada di barisan pendukung tokoh bersandi 08 itu seperti Budiman Sujatmiko.
Bila mengacu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), yang menyatakan pasangan calon presiden dan wakil presiden harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Maka lumbung suara dukungan terhadap Capres Prabowo dapat dipastikan mengalami surplus yang signifikan.
Besaran benefit dukungan itu diatas kertas mengisyaratkan jika Pilpres 2024, itu hanyalah sebuah ‘pesta formalitas’ untuk mengangkat Prabowo Subianto dengan pasangannya untuk menjadi Presiden RI yang ke 8. Tetapi apakah hitung-hitungan itu bisa memberikan garansi jika Prabowo akan melangkah aman menuju ke Istana Merdeka, jawabannya pasti belum tentu.
Karena perkembangan politik bersifat sangat dinamis. Bukan tidak mungkin ada satau moment atau fenomena yang berpoetnsi bisa menggerus perolehan suara dukungan yang sudah dihimpun capek-capek. Dan satu hal yang harus dicacat oleh kubu Prabowo, mereka harus berhadapan dengan pasangan yang terbilang sebagai partai setengah incumbent yakni PDIP yang tercatat sebagai promotor utama kenaikan Jokowi dalam Pilpres 2014 maupun 2019 lalu. Kubu ini tentu memiliki sumber daya mumpuni serta strategi tersendiri yang berpotensi bisa menjegal langkah Prabowo untuk menuju Singgasana RI 1.
Dan sejarah telah mencatat, jika tidak selamanya partai politik bisa menjadi mesin politik yang efektif, kecuali beberapa partai yang memiliki tipikal sebagai partai kader. Dan tidak ada partai yang memiliki kualifikasi partai kader yang masuk dalam jajaran koalisi pendukung Prabowo. Artinya konstituen yang ada dalam barisan pendukung Prabowo tidak ada yang masuk kategori die hard (garis keras), yang justru relatif mudah dijinakan bila partai bisa merangkul tokoh yang karimastik dan dihormati yang biasanya terikat dalam jalinan ideologi yang kuat.
Begitu juga sebaliknya bukan persoalan yang gampang untuk merangkul suara dari kalangan swing voters (massa yang mengambang) yang cenderung pragmatis. Untuk merangkul kelompok ini calon harus mampu menawarkan gagasan yang pragmatis sekaligus realistis selama masa kampanye. Sehingga masyarakat calon pemilih benar-benar mengetahui visi dan misi serta kualitas calon pemimpin yang akan dipilihnya. Dalam konteks itulah kampanye menjadi faktor yang determinan untuk mencari simpati dan dukungan dari publik.
Masa kampanye itu harus dimanfaatkan secara cerdas dan efektif untuk meyakinkan calon pemilih dalam Pilpres 2024. Masa kampanye yang berlangsung dari 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024 atau berkisar 60 hari efektif tentu adalah waktu yang sangat singkat untuk bisa mendulang dukungan. Maka disitulah diperlukan tim sukses dan think thank yang kuat, yang bisa merumuskan materi kampanye yang tematik. Sehingga publik bisa menilai kualitas tokoh dalam berbagai dimensi serta spektrum yang lebih luas. Karena dalam konteks ini Prabowo harus mengakui kelebihan calon lain yang sudah berpengalaman dalam menangani berbagai isu seperti Anies Baswedan saat memimpin Provinsi DKI Jakarta dan Ganjar Pranowo yang berpangalaman memimpin Provinsi Jawa Tengah, sementara Probowo, selain pengalamannya di militer hanya mendapat bekal tambahan menjadi Menteri Pertahanan yang notebene tidak jauh-jauh dari isu pertahanan dan keamanan.
Memang Prabowo telah memiliki blue print maupun road map yang jelas tentang isu-isu ekonomi seperti yang tertuang dalam bukunya ‘Paradoks Indonesia dan Solusinya’. Tetapi untuk mengkonsolidasikan gagasan-gagasan ekonomi dan membumikan pikiran-pikirannya itu bukanlah persoalan yang mudah, apalagi dalam waktu yang relative singkat. Maka disitulah Prabowo harus didampingi tim yang kuat. Salah satunya caranya adalah menggandeng wakil yang memiliki wawasan kognitif dalam bidang ekonomi yang kuat. Sehingga langsung terkoneksi antara gagasan yang dimilikinya serta cara eksekusi kebijakan nantinya.
Tim Sukses Prabowo juga tidak boleh kaku, yang mematok setiap relawan harus memilki konsep dan menunggu instruksi dari tim pemenangan. Pola pendekatan yang ‘kereng’ (baca : sangar) seperti itu akan membatasi partisipasi masyarakat luas terutama yang tidak memilki sumber daya yang memadai. Sebaiknya biarkanlah mereka berpertisipasi, tim pemenangan hanya bersifat memantau kemungkinan terjadinya pelangggaran terhadap tata-tertib kampanye saja. Meskipun partisipasi itu bersifat sporadis tetapi itu lebih orisinil dan bisa menjangkau masyarakat di setiap penjuru. Sehingga kampanye kubu Prabowo itu tidak bersifat elitis yang berpotensi menciptakan kristalisasi dukungan.
Salah satu isu yang mungkin akan menjadi ‘dagangan rongsokan’ (karena sudah sering dipakai oleh lawan Prabowo) adalah isu HAM terutama terkait kasus Timor Timur dan penculikan aktivis 1988. Maka kubu Prabowo harus bisa memanfaatkan beberapa tokoh yang pernah menjadi korban penculikan seperti Budiman Sujatmiko dan Pius Lustrilanang untuk memberikan testimony, kenapa mereka justru sekarang mau mendekat kepada Prabowo. Sedangkan sebelumnya ada beberapa tokoh seperti almarhum Haryanto Taslam maupun almarhum Desmond J Mahesa, justru mau menjadi pengurus Partai Gerindra, padahal sebelumnya Haryanto Taslam juga pernah menjadi korban penculikan pada tahun 1998.
Isu tak kalah menyeramkan yang berpotensi akan mendeligitimasi Prabawo adalah isu kedekatan Prabowo dengan Amerika. Seperti yang saya singgung dalam tulisan saya sebelumnya tentang kemungkinan munculnya framing sebagai ‘boneka Amerika’ , pasca kunjungan Prabowo ke Pentagon, Amerika kini mulai ada framing yang dilakukan oleh seorang pengamat politik yang menyatakan jika Prabowo telah melakukan loby-loby ke jaringan Yahudi di Amerika untuk meraih dukungan dalam Pilpres 2024.
Isu ini bisa menjadi ‘bola panas’ bila kubu Prabowo tidak segera melakukan klarifikasi tentang tujuan dari kunjungannya ke Amerika. Sejarah telah membuktikan jika framing sebagai antek Amerika terbukti efektif untuk mengkerdilkan perolehan suara Amien Rais dalam Pilpres 1999 lalu, meskipun kapabilitas, integritas serta aksesbilitas Amein Rais saat itu sedang melambung tinggi. Padahal mantan Ketua ICMI dan Ketum PP Muhammadiyah itu sebelumnya dikenal cukup garang dengan Amerika terutama dalam isu Freeport saat itu.
Maka kubu Prabowo harus sigap menyikapi itu jika tidak ingin terjadi ‘migrasi’ dukungan dari kelompok kanan yang menganggap Prabowo telah ‘bermain mata’ dengan Amerika yang dikenal sebagai penyokong utama dari Israel. Sebaliknya, framing itu juga bisa menjadi amunisi dan senjata pamungkas dari kelompok kiri, yang selama terlibat konflik ideologi dengan Amerika yang dikenal sebagai kakek buyutnya, liberalisme dan kapitalisme.
Untuk mengeliminir potensi terjadinya ‘kecelakaan’, kubu Prabowo pasti mau belajar dari kekalahan yang ‘diragukan’ dalam Pilpres 2019 lalu. Kubu Prabowo tidak perlu mengusik ‘luka lama’ itu, tetapi cukup menciptakan sitem yang kredibel dalam proses penghimpunan suara dari tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS), hingga ke KPU Pusat.(***)
- Penulis adalah Direktur Kajian Poleksudbudkum, Cakra Emas Syndacte