- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Erick Tohir Dalam Pusaran Pragmatisme Partai

Erick Tohir (rep)

Oleh : Gugus Elmo Rais

 Profesor Senior Ilmu  Politik di Universitas Dortmund, Jerman, Profesor Thomas Meyer  dalam bukunya Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis telah membuat tesis tentang fungsi partai politik. Dalam tesisnya, penulis buku The Concept of Social Democracy in Theory and Practice, The Theory of Social Democracy itu mendiskripsikan tentang multiple functions (fungsi partai yang beragam) diantaranya adalah, mengagregasikan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai dan berbagai kalangan masyarakat dan merekrut, mendidik, dan mengawasi staf yang kompeten untuk kantor publik mereka dan untuk menduduki kursi di parlemen.

Jika acuannya adalah tesis dan deskripsi Thomas Meyer  itu, maka pesta demokrasi berupa pemilihan presiden (Pilpres) maupun pemilihan legislatif (Pileg) di Indonesia adalah sebuah anomali. Sistem multipartai dengan platform yang nyaris seragam, mengakibatkan kompetisi tanpa kontestasi gagasan yang harus diperdebatkan atau konflik ideologis (ideological battlefield)  yang terjadi justru perebutan kekuasaan (power struggle) dengan mekanisme power sharing  dan trading horse (politik dagang sapi) atas nama demokrasi. Keduanya bercampur, dan sering sangat manipulatif karena menggunakan tema ideologis untuk sebuah tujuan yang sangat politis, yakni kekuasaan untuk kekuasaan.

Kondisi yang jumud itu semakin membuktikan jika partai-partai di Indonesia telah salah menjalankan fungsinya  sekaligus gagal menciptakan iklim demokrasi yang sehat. Dari sistem multi partai (18 partai yang lolos plus 6 partai lokal), hanya beberapa gelintir partai yang memiliki platform dengan garis ideologi yang jelas. Selebihnya adalah partai yang eksis karena telah memenuhi kualifikasi admnistratif. Kegagalan partai di Indonesia bukan hanya persoalan membangun ideologi atau mengagerasikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Namun lebih dari itu, seperti halnya tesis Thomas Meyer, partai di Indonesia tidak mampu menjalankan fungsinya seperti yang diatur dalam Undang-Undang  Nomor 2 tahun 2008 dan Undang-Undang No 2 tahun 2011 tentang Partai Politik.

Dalam pasal 11 Undang Undang  Nomor 2 tahun 2008 itu fungsi partai diantaranya adalah :

  • Sarana pendidikan politik bagi seluruh masyarakat Indonesia agar menjadi WNI yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  • Menciptakan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia demi kesejahteraan masyarakat.
  • Menyerap, menghimpun, dan menyalurkan aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
  • Tempat WNI dapat berpartisipasi dalam politik.
  • Merekrut untuk mengisi jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

Kegagalan partai yang paling krusial adalah tidak mampu melakukan rekruitmen sekaligus pengkaderan untuk calon pemimpin nasional.  Padahal sesuai dengan ketentuan Undang-Undang itu sudah seharusnya partai itu menjadi ‘kawah condrodimuko’ (tempat mendidik dan menggembleng) calon pemimpin nasional. Justru dalam dua episode Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 dan 2024 muncul nama-nama yang bukan murni kader partai yakni Sandiaga Salahudin Uno yang menjadi Cawapres 2019 yang berpasangan dengan Prabowo Subianto. Dan dalam episode Pilpres 2024 ini muncul nama yang cukup dominan yakni Meneg BUMN  dan Ketua Umum PSSI, Erick Tohir yang notabene bukan kader partai tetapi adalah orang profesional yang terbukti mampu memperlihatkan  jiwa leadershif yang memadai. Keduanya juga dikenal memiliki ‘gudang amunisi’ yang cukup untuk bertempur dalam palagan Pilpres yang membutuhkan biaya yang tinggi (high cost politic).

Sesuai dengan ketentuan pasal 22 UUD 1945 maupun pasal 43 Ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dinyatakan, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan,’. Maka siapapun tanpa terkecuali Erick Tohir maupun Sandiaga Uno memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Apalagi  keduanya adalah merupakan putra-putra terbaik bangsa.

Erick yang merupakan alumni National University California saat ini memilki tingkat elektablitas dan asksesibilitas yang tinggi bila dibandingkan dengan Bacawapres lain.  Bahkan aksesbilitas pemilik gelar Bachelor of Art dari Grendale University California ini juga terbilang  sangat luas, sehingga namanya masuk dalam bursa Cawapres di dua kubu yakni kubu  Prabowo Subianto maupun kubu Ganjar Pranowo. Kemampuan managerial  Erick juga mumpuni, misalnya pernah  menjadi Ketua Indonesia Asian Games 2018 Organizing Committee (INASGOC) yang sukses mengantar Indonesia sebagai tuan rumah sekaligus peserta  yang menempati peringkat 4 Asian Games 2019 yang merupakan prestasi tertinggi  sepanjang sejarah yang pernah diperoleh Indonesia.

Tetapi memunculkan nama Erick Tohir dalam bursa Cawapres sendirian juga berbahaya buat demokrasi  sekaligus publik membiarkan partai bersikap pragmatis. Partai tak mau lagi bekerja keras untuk menciptakan kader yang memiliki kualifikasi sebagai calon pemimpin. Partai hanya menunggu di ‘tikungan’ untuk mencomot calon yang memiliki elektabilitas tinggi sekaligus menjadikannya sebagai ‘kuda troya’. Bahkan partai justru menikmati situasi itu, bila perlu bisa ‘mencolek’ Cawapres untuk memperoleh ‘cipratan mahar’ dalam kontestasi Pilpres yang akan datang.

Pasca Pilpres 2019 lalu, Sandiaga Uno membuat pengakuan yang mengejutkan jika dirinya habis dana sekitar Rp 1 trilun untuk membiayai ‘petualangan politiknya’. Tapi Sandiaga Uno tidak membreak down,  untuk apa saja dana sebesar itu, apakah juga termasuk memberikan saweran mahar kepada para partai pendukungnya.

Pertanyaan selanjutnya, bila pola itu kembali akan terulang, terus berapa anggaran yang harus disiapkan oleh Erick Tohir jika harus menjalani mekanisme yang sama. Apalagi Erikc Tohir juga sama dengan Sandiaga Uno, bukan murni kader partai. Sehingga tidak memiliki bodyguard  berupa kader partai yang membentengi dirinya dari colekan kader partai.  Kalaupun toh Erick sanggup  dan kemungkinan itu (sangat sanggup), terus bagaimana dia bisa mengembalikan investasi politiknya itu. Karena argumentasi itulah, pilihan Capres maupun Cawapres yang ideal itu tetaplah harus dari partai, sehingga  menutup peluang calon independen itu akan menjadi korban colekan dari kanan dan kiri oleh partai dalam koalisi sendiri yang ingin mendapat mahar saweran.(***)

  • Penulis adalah Direktur Kajian Poleksosbudkum Cakra Emas Syndicate

 

 

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan