Jakarta, Prolegalnews – Menjelang Pilkada serentak yang akan dilaksanakan 9 Desember 2020 mendatang tensi politik kini mulai menghangat. Berbagai isu mulai dilontarkan oleh para pihak yang ingin berkontestasi untuk menjadi orang nomor satu di daerah masing-masing. Salah satu komoditas politik yang sering dilontarkan adalah adanya dinasti politik untuk menanggapi keikut sertaan Putera Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka di Pilkada Solo, dan menantu Presiden, Bobby Nasution, di Pilkada Medan, serta putri Wapres Ma’ruf Amin di Pilkada Tangsel.
Tetapi menurut dosen dan pengamat politik dari Universitas Bung Karno, Daniel Panda, isu itu tidak cerdas sekaligus tidak kreatif karena setiap warga negara memiliki hak konstitusional karena dari sisi aturan tidak ada yang dilanggar, begitu juga dari sisi demokrasi, karena setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih. Hak politik warga negara itu mencakup hak untuk memilih dan dipilih, penjaminan hak dipilih itu secara eskplisit telah tersurat dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, Pasal 28D ayat (3); Pasal 28E ayat (3).56 Sementara hak memilih juga diatur dalam Pasal 1 ayat (2); Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (1); Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C ayat (1) UUD 1945. Perumusan pada pasal-pasal tersebut sangat jelas bahwa tidak dibenarkan adanya diskriminasi mengenai ras, kekayaan, agama dan keturunan.
Sehingga polemik tentang dinasti politik itu menurut Daniel Panda sangat tidak produktif dan buang-buang energi saja. Apalagi menurut mantan Dekan Fakultas Hukum UBK ini, karakter Presiden Jokowi yang dari awal tidak berusaha untuk melibatkan pihak keluarga dalam urusan politik, jadi ada perubahan sikap dan inkonsistensi pemikiran, begitu juga Gibran dari awal dan dalam berbagai kesempatan selalu mengatakan tidak akan menjadi politisi, tetapi karena ada peluang yang besar, akhirnya semua bisa berubah. “Kekuasaaan memang akan menjadi kue yang enak bagi sebagian kalangan, apalagi kalau masih berkuasa, jadi politik itu kesempatan dan kesempatan itu terbuka lebar, tinggal publik bisa menilai kedepannya akan seperti apa, apakah demokrasi atau kekuasaan yang menang nanti,” ujarnya.
Kini menurut Daniel semua kembali ke masyarakat untuk menentukan pilihanya masing-masing, apakah mereka itu pantas atau tidak untuk dipilih. Masyarakat pemilih setidaknya harus punya beberapa parameter untuk memilih para calon pemimpinnya, seperti misalnya adalah kapabilitas, integritas sekaligus aksebilitas para calon. Salah satu parameter yang utama yang harus dijadikan pedoman oleh para pemilih adalah track record para calon, apakah mereka memiliki catatan hitam atau tidak, sehingga figure yang menjadi pemimpin yang terpilih adalah figure yang benar-benar bersih.(tim)