- Advertisement -
Pro Legal News ID
Nasional

Denny Indrayana Prediksi Putusan MK Tidak Akan Menolak Gugatan Terkait Sengketa Pilpres

Ilustrasi, pakar hukum Denny Indrayana (rep)

Jakarta, Pro Legal – Menjelang putusan MK, pakar hukum tata negara Denny Indrayana  memprediksi beberapa opsi putusan terkait dengan sengkete Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi  (MK).

Seperti diketahui, sengketa Pilpres 2024 melibatkan Tim AMIN dan Ganjar-Mahfud sebagai pemohon dan KPU serta Bawaslu sebagai termohon. Tim Prabowo-Gibran menjadi pihak terkait. MK akan membacakan putusan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024 pada Senin, 22 April.

Berdasarkan Pasal 77 UU MK jo Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2023, terang Denny, terdapat tiga jenis putusan MK dalam sengketa Pilpres. Yakni permohonan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard); permohonan dikabulkan; atau permohonan ditolak.

“Saya meyakini Mahkamah tidak akan memutuskan permohonan tidak dapat diterima, karena permohonan Paslon 01 dan 03 jelas memenuhi syarat formil untuk diputuskan pokok permohonannya,” ujar Denny lewat akun X @dennyindrayana dan sudah diberi izin untuk dikutip.

Mantan Wamenkumham itu menduga setidaknya terdapat empat opsi putusan setelah melihat jalan persidangan, bukti-bukti yang dihadirkan, termasuk keterangan saksi, ahli dan para menteri, juga memperhatikan komposisi dan rekam jejak delapan hakim konstitusi yang mengadili.

Menurut  Denny, opsi pertama yaitu MK menolak seluruh permohonan, tetapi memberikan catatan dan usulan perbaikan Pilpres. Terhadap opsi ini, MK akan menguatkan Keputusan KPU yang memenangkan Paslon 02 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, dan hanya memberikan catatan perbaikan penyelenggaraan Pilpres, utamanya kepada KPU dan Bawaslu.

“Mahkamah pada dasarnya menyatakan dalil-dalil permohonan tidak terbukti. Melihat situasi-kondisi politik-hukum di tanah air, saya berpandangan opsi satu ini yang sangat mungkin menjadi kenyataan,” tambahnya.

Opsi kedua yaitu MK mengabulkan seluruh permohonan para pemohon. Dalam opsi ini, MK mengabulkan diskualifikasi Prabowo-Gibran dan melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) hanya di antara Paslon 01 dan 03.

“Dari semua opsi, melihat situasi-kondisi politik-hukum di tanah air; termasuk rumit dan sulitnya proses pembuktian, saya berpandangan opsi dua ini hampir muskil bin mustahil terjadi,” ujar Denny.

Sedangkan opsi ketiga menurut Denny yaitu MK mengabulkan sebagian permohonan yaitu mendiskualifikasi Gibran. Terkait opsi ini, MK mengabulkan salah satu petitum Paslon 01 yang memberi alternatif hanya Gibran yang didiskualifikasi, dan Prabowo dapat kembali ikut PSU dengan pasangan Cawapres yang baru.

Meskipun mungkin saja terjadi, opsi tersebut tetap tidak mudah dan membutuhkan tidak hanya keyakinan hakim ataupun judicial activism, tetapi juga keberanian, pengakuan, dan introspeksi institusional bahwa masalah moral-konstitusional pencalonan Gibran bersumber dari Putusan 90 MK sendiri, sebagaimana telah secara terang-benderang diputuskan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Opsi terakhir yaitu MK mengabulkan sebagian permohonan dengan membatalkan kemenangan Gibran dan melantik hanya Prabowo, kemudian memerintahkan dilaksanakannya Pasal 8 ayat 2 UUD 1945.

Denny menerangkan opsi keempat tersebut membutuhkan penjelasan lebih panjang, terutama karena tidak ada dalam permohonan Paslon 01 maupun 03, sehingga menjadi ultra petita.

Denny menjelaskan dasar amar dimaksud ada dua. Pertama, peradilan sengketa Pilpres bukan sengketa perdata, tetapi peradilan konstitusional tata negara, sehingga demi menjaga kehormatan konstitusi, bisa memutuskan di luar permintaan para pihak. Hal itu sudah beberapa kali dilakukan oleh MK.

Kedua, dalam Pasal 53 ayat (2) Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2024 diatur, “Dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat 1”.

Norma tersebut dapat dimaknai Mahkamah membuka peluang ultra petita, bukan hanya di luar yang dimintakan para pihak, bahkan pun di luar ketentuan Peraturan MK atau UU MK.

“Yang dilakukan bukan pendiskualifikasian Paslon 02 karena Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan atas pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis, masif) Paslon 02, di samping tentu ada pula argumen hal demikian adalah kewenangan Bawaslu RI,” tutur Denny.

“Bukti-bukti yang dihadirkan tidak cukup untuk menguatkan dalil para pemohon (Paslon 01 dan 03). Memang pembuktian sengketa Pilpres sangat rumit dan sulit,” sambungnya.

Denny berpendapat MK akhirnya bisa membatalkan kemenangan Gibran. Bukan karena persoalan pencawapresan yang sudah terlanjur absah melalui putusan 90 dan berbagai putusan MK sesudahnya, tetapi MK memutuskan membatalkan kemenangan Gibran dengan berbagai pertimbangan konstitusional. Satu di antaranya cawe-cawe Presiden Jokowi terbukti.

Opsi keempat ini menjadi bagian dari solusi karena Pasal 8 ayat (2) UUD 1945 memberikan waktu paling lambat 60 hari bagi MPR untuk memilih wapres dari dua calon yang diusulkan Presiden Prabowo Subianto, tentu setelah pelantikan pada 20 Oktober 2024.

“Opsi mana yang akan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Akankah ada kejutan? Saya yakin tidak. Saya prediksi MK belum punya dukungan bukti dan keberanian untuk memutus di luar opsi putusan yang pertama, yaitu: menolak seluruh permohonan, dan hanya memberikan catatan perbaikan atas pelaksanaan Pilpres 2024,” pungkasnya.

Sebelum itu, delapan hakim konstitusi minus Anwar Usman akan menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk merumuskan putusan.(Tim)

 

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan