- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Bila Tak Miliki Stretegi Yang Pas, Jokowi Tinggal Menghitung Hari

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Minggu pertama September 2019, nilai Rupiah terus mengalami free fall (terjun bebas) dibandingkan dengan dolar Amerika. Hingga  tanggal 4 September, nilai dolar bertengger pada kisaran nilai Rp 14.192,-. Disparitas nilai antara rupiah dengan dolar ini menurut definisi  Checcethi, Miskhin  sering disebut dengan depresisai. Ironisnya, hingga saat ini intervensi yang dilakukan oleh bank sentral (BI) terbukti kurang efektif karena kondisi tak kunjung membaik, sehingga dikhawatirkan  cadangan devisa yang dimiliki oleh bank sentral akan menguap habis. Seperti diketahui untuk sekali intervensi bank sentral memerlukan anggaran  setidaknya 3,5 – 5  triliun rupiah.

Berdasarkan  data International Financial Statistik (IFS), rupiah merupakan salah satu mata uang yang kerap mengalami depresiasi. Salah satu faktor yang menjadi penyebab rentannya rupiah adalah sistem devisa kita yang menganut, independently exchange floating rate (rezim devisa bebas). Dengan sistem devisa seperti itu, maka rupiah sangat rentan terhadap guncangan baik oleh faktor eksternal maupun internal.

Salah satu faktor internal  yang sangat mempengaruhi nilai rupiah adalah defisit perdagangn yang terjadi berkelanjutan. Bahkan  beberapa waktu lalu Presiden Jokowi sempat uring-uringan dan mengeluh jika eskpor kita mandeg alias tidak mengalami pertumbuhan. Sementara jumlah utang luar negeri yang terus membengkak karena program pembangunan infrastruktur.

Mestinya republik ini harus belajar dari sejarah, krisis moneter serupa juga pernah terjadi pada tahun 1997 lalu. Kala itu pergerakan nilai dolar sangat liar hingga melambung pada kisaran Rp 16.000,-. Saat itu pemerintah kita juga dibuat  kelimpungan karena tidak bisa mengendalikan nilai dolar. Hutang luar negeri yang harus dibayarpun seketika menggelembung segede gunung. Maklum dengan pendapatan yang relatif sama, hutang yang jatuh tempo seketika membengkak ketika dikonversikan dengan nilai dolar.

Maka mengingat republik ini adalah penganut rezim devisa bebas, maka  untuk menghindari penyakit depresiasi kambuhan  yang diidap  oleh rupiah, wacana yang berasal dari usulan ekonom Steve H Hankee tentang hedging (pematokan) nilai rupaih terhadap nilai tertentu seperti dolar atau euro pantas untuk diapungkan. Meski gagasan Profesor Ekonomi dari John Hopkins University yang pernah diusulkan kepada pemerintahan Soeharto itu harus didukung dengan cadangan devisa yang sangat besar.

Atau bisa juga pemerintah melakukan langkah yang ekstrem dengan merubah sistem devisa kita dari bebas, menjadi bebas terkendali (two tire sistem). Dengan sistem pelaporan ini setidaknya devisa hasil eskpor dari berbagai komoditas kita seperti tambang dan sektor agro bisa terkontrol. Satu hal yang harus diingat jumlah devisa hasil ekspor kita dari sektor agro setiap tahun mengalami peningkatan yang signifikan. Atau setidaknya dengan sistem pelaporan itu bisa menghambat terjadinya pelarian modal (capital flight) dari para pengusaha yang tipis rasa nasionalismenya. Tanpa harus marah-marah menuduh para pengusaha.

Sebenarnya analisa tentang pergerakan nilai dolar yang sangat liar itu cukup sederhana. Selain karena faktor internal berupa defisit perdagangan, laju inflasi, hutang luar negeri yang terus membengkak serta daya beli yang anjlok, faktor lain yang harus dihitung oleh pemerintah adalah faktor eksternal. Ada dua faktor eksternal yang sangat mungkin mempengaruhi depresiasi yakni kenaikan suku bunga the fed serta adanya kemungkinan faktor spekulasi.

Dalam  menyikapi depresiasi yang tak kunjung henti gak ada salahnya bila kita meminjam tuduhan Mahathir Mohhamad, PM Malaysia saat terjadi krisis moneter 1997 lalu. Saat itu Cik Mahathir secara terang-terangan menuduh Goerge Soros, Arek Yahudi yang demen dolanan mata uang berada dibalik krisis yang terjadi saat itu. Maklum  salah satu orang terkaya di kolong langit ini  adalah salah satu fund manager terbesar di dunia.

Terus pertanyaannya, apa keuntungan mereka menggoyang pemerintahan RI yang telah didaulat sebagai negeri muslim yang demokratis yang terbesar di dunia ini. Jawabannya juga sangat sederhana, Pemerintahan ‘Si Jambul’ Trump sudah terang-terangan menyatakan unhappy dengan Pemerintahan Jokowi. Pasalnya, Jokowi dinilai telah lancang melawan AS terutama terkait dengan isu pemindahan Ibu Kota Israal dari Tel Aviv menuju Yerusalem. Bahkan dalam penyataannya, Trump telah menyatakan akan membalas sikap frontal yang diperlihatkan Jokowi dengan tidak mau membantu pemerintah Indonesia. Maka bukan tidak mungkin sikap jahil Soros kembali kumat melihat sikap politik Pemerintahan Jokowi  terhadap negeri leluhur Soros.

Perasaan unhappy Paman Sam terhadap Indonesia semakin menggumpal setelah Jokowi berhasil merebut 51% saham Frepoort  melalui divestasi. Meski sacara terbuka mereka tidak melakukan perlawanan, tetapi isu adanya pengerahan ribuan pasukan US Navy ke Darwin tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Harap maklum kenapa Amerika begitu murka terhadap divestasi itu, karena kontribusi tambang emas Freeport terhadap ekonomi Amerika juga sangat besar.

Apalagi  telah menjadi rahasia umum,  jika pemerintahan Jokowi  terkesan lebih pro ke Beijing ketimbang Washington. Faktor kecemburuan sangat mungkin membuat Amerika merasa kurang nyaman dengan pemerintahan Indonesia yang sekarang.

Dengan berbagai hipotesa itu, maka Pemerintahan Jokowi harus sigap untuk mencari strategi dan terapi yang pas untuk menghambat laju depresiasi. Bukan tidak mungkin Paman Sam akan ikut bermain dalam proses suksesi 2019. Satu hal yang perlu diingat, Soeharto tumbang dalam gerakan mahasiswa tahun 1998 juga tidak terlepas dari intervensi Amerika. Kala itu akibat spekulasi para fund manager nilai dolar sempat melambung hingga Rp 16.000,- Setidaknya kalau kita meminjam tuduhan Mahathir Mohammad terhadap George Soros. Dan siapapun Capresnya  faktor dukungan dari Paman Sam ini kerap berpengaruh terhadap hasil akhir pemilihan presiden.**

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan