- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Belajar Berpolitik Dari Shin Tae Yong

Ilustrasi (rep pixabay)

Oleh : Gugus Elmo Rais

Pagelaran kompetisi sepak bola regional Piala Suzuki atau  AFF  Championsip telah berakhir 1 Januari 2021 lalu. Dalam  kejuaraan yang berlangsung di Singapura itu Timnas Garuda kembali gagal untuk ‘mematuk’ Timnas Gajah Perang dan kalah dengan agregat  gol (2-6) sekaligus meneguhkan Timnas Garuda sebagai spesialis finalis. Maklum sejak kejuaraan yang dimulai tahun `1996 lalu Timnas Indonesia belum pernah mengangkat piala dan hanya meraih gelar kedua, walaupun Tim Garuda sudah enam kali mencapai babak final. Sebaliknya Timnas Gajah Perang telah enam kali merengkuh piala sekaligus mengukuhkan diri sebagai tim terkuat di Asia Tenggara.

Meski gagal menghapus rekor buruk, tetapi ada yang menarik dari penampilan Timnas Garuda. Pola permainan Asnawi dkk terlihat sangat atraktif terlihat dari produktivitas gol yang sangat tinggi dan tertinggi diantara kontestan lainnya, bahkan dibandingkan dengan tim juara, Thailand. Anak asuh pelatih asal Korea, Coach Shin Tae Yong (STY)  itu terlihat sangat mobile dan  memiliki determinasi yang tinggi.

STY telah mampu merubah filosofi bermain Timnas Garuda menjadi  ngosek (ngotot) dan tak kenal menyerah. Fisik pemain yang sering menjadi kelemahan Timnas Indonesia berubah menjadi sangat prima meski bermain dalam tempo tinggi serta bermental baja. Kekuatan fisik itu tidak terlepas dari treatment yang sangat ketat STY terhadap pola makan para pemain. Pendeknya STY telah melakukan perubahan yang sangat fundamental dalam sepak bola Indonesia.

Namun ada satu yang tak kalah menarik dari performance STY selama mendampingi  anak asuhnya bertarung melawan musuh-musuhnya di lapangan. Meski dikenal  sebagai coach  yang sangat tegas, jeli, detail serta ahli startegi hingga disebut sebagai ‘pelatih bunglon’ karena kemampuannya meracik strategi yang berbeda-beda setiap bertanding, tetapi Coach STY selalu  bersikap dan menanamkan sikap terhadap anak asuhnya untuk bertarung dengan rasa hormat terhadap tim lawan.

Coach STY tidak pernah melakukan psy war  terhadap tim lawannya dengan pernyataan-pernyataan yang merendahkan lawan. STY selalu memuji  tim lawan mainnya. Paling-paling STY hanya melakukan prank tentang line up yang akan diturunkannya  sehingga tim lawan terkecoh dengan strategi yang dimainkannya. Walaupun upaya bongkar pasang  strategi  itu sempat blunder saat pertandingan final leg pertama lawan Timnas Thailand yang berujung kekalahan  telak (0-4).

Sikap STY yang tidak pongah itu merupakan sikap yang njawani  karena tidak pernah menyerang lawan, seakan STY memahami filosofi Jawa, menangake tanpo ngasorake (memenangkan tanpa mempermalukan lawan). Hal itu sangat berbeda dengan sekondanya yang sama-sama berasal dari Korea Selatan, Park Ji gong  (baca : Park Hang Seo), yang sering menyerang dan melecehkan lawan termasuk Timnas Indonesia yang dinilainya tidak layak masuk final. Bahkan Park Hang Seo sering mengecam siapapun tanpa terkecuali  panitia penyelenggara yang tidak memberikan asupan daging babi terhadap anak asuhnya. Hasilnya, Timnas Vietnam gagal mempertahankan supremasi dan hegemoninya di persepak bolaan Asean.

Dalam dimensi politik tidak ada salahnya bila kita belajar sikap dari Coach STY. Jagad politik nasional  justru berlaku sebaliknya, secara kosmos bangsa  ini, saat ini  sering bersikap brangasan dalam berpolitik  terutama oleh dua kelompok yang berseberangan. Fenomena ini seakan  berbanding terbalik dari sikap STY yang njawani, para politisi kita justru menggunakan foklor yang tidak mengenal tata karma.

Banyak politisi yang mengggunakan startegi ngasorake kanggo ngalahake (mempermalukan untuk mengalahkan) lawan politiknya dengan cara menghujat, nyinyir, menyebar hoaxs melalui jasa buzzer, hingga black campaigne terutama melalui Medsos. Maka penggunaan delik penyebar keonaran oleh aparat keamanan harus didukung dengan catatan harus diberlakukan secara equal terhadap  kelompok apapun sehingga prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) bisa ditegakkan. Sebagai  upaya untuk menghadirkan effek jera (detterent effeck) sekaligus bagian dari upaya untuk menciptakan fatsoen politik (tata krama) yang lebih civilize (bermartabat) dan bertanggung jawab.

Penegakkan supremasi hukum (law enforcement) yang konsisten  dan kredibel itu akan mempu mengusir begal-begal demokrasi yang suka menggunakan dalih iklim demokrasi untuk bebas menghujat, memaki dan nyinyir terhadap lawan-lawan politiknya terutama menggunakan Medsos, hanya untuk Pansos (panjat sosial) demi popularitas pribadi sekaligus untuk mengangkat elektabilitas diri dan kelompoknya.***

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan