Jakarta, Prolegalnews – Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto menjelaskan tentang kronologi munculnya beragam versi Undang-Undang Cipta Kerja (UU CIKA) yang disahkan pada rapat paripurna DPR,(5/10) lalu. Mulyanto mencatat, setidaknya ada lima versi draf UU CIKA yang beredar di publik sejak pemerintah menyerahkan RUU CIKA pada 12 Februari 2020 lalu hingga 13 Oktober 2020 kemarin.
Mulyanto menerangkan, draf awal RUU CIKA dari pemerintah yang diterima DPR yaitu sebanyak 1.028 halaman. Kemudian, setelah disahkan di rapat paripurna pada 5 Oktober 2020, beredar ke publik draf UU CIKA sebanyak 905 halaman.”Konsolidasi RUU secara utuh belum dilakukan. Setelah selesai baru mulai muncul draf tersebut, belum resmi benar. Baru agak jelas pada 5 Oktober. Ini pun belum final, meski tersebar ke publik,” ujar Mulyanto,(14/10/2020).
Mulyanto menambahkan, pada 9 Oktober 2020 muncul draf UU CIKA dengan jumlah halaman sebanyak 1.062 halaman. Kemudian pada 12 Oktober 2020 pagi beredar draf UU CIKA versi 1.035 halaman. Lalu pada 12 Oktober 2020 malam beredar draf UU CiIKA yang jumlah halamannya sebanyak 812 halaman.”Jadi memang banyak versi draf muncul sejak 5 Oktober,” ujarnya.
Mulyanto juga merespons penjelasan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin yang memastikan, draf UU Cipta Kerja versi 812 halaman adalah versi final. Menurutnya, kepastian tersebut penting agar Fraksi PKS lebih fokus dalam memeriksa dokumennya.
“Nah, sekarang sudah jelas kita akan fokus memeriksa dokumen 812 ini,” ujarnya.
DPR direncanakan akan mengirim naskah final UU CIKA hari ini,(14/10/2020) ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Fraksi PKS tetap berharap Presiden Jokowi mengeluarkan perppu untuk membatalkan undang-undang tersebut mengingat gelombang penolakan semakin besar. “Ya, kalau masyarakat menginginkan itu (presiden keluarkan Perppu), PKS tentu bersama masyarakat,” ujar anggota badan legislasi (Baleg) DPR tersebut.
Sebelumnya Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin menyampaikan klarifikasi perihal adanya perbedaan jumlah halaman dari draf UU CIKA yang beredar di masyarakat. Ia menjelaskan, hal itu terjadi karena adanya perbedaan jenis kertas yang digunakan oleh Baleg DPR dalam mengetik undang-undang tersebut. “Proses pengetikannya di Kesetjenan (DPR) menggunakan legal paper yang sudah menjadi syarat ketentuan-ketentuan dalam undang-undang. Sehingga besar tipisnya yang berkembang di masyarakat ada 1.000 sekian, 900 sekian,” ujar Azis,(14/10/2020).Tim