Oleh : Gugus Elmo Ra’is
Sebagai orator ulung, Soekarno pernah membuat pernyataan yang melegenda,”Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Orasi Soekarno itu untuk membangun kesadaran nasional (national guest) sekaligus tindakan nasional (national daad) bagi generasi muda untuk memerdekakan diri dari kolonialisme sekaligus mengisi kemerdekaan. Dan ternyata bangsa Indonesia dipimpin oleh Soekarno yang saat itu masih berumur 44 tahun (Soekarno lahir 6 Juni 1901) bersama Moh Hatta yang kala itu berumur 43 tahun (Hatta lahir 12 Agustus 1902) mampu membebaskan diri dari belenggu penjajahan yang telah membelit bangsa Indonesia selama 350 tahun. Sejarah kemudian mencatat, Soekarno menjadi salah satu tokoh besar yang disegani dunia.
Sebagai seorang ideolog, Soekarno banyak membuat pernyataan yang memacu semangat bagi para pemuda untuk tumbuh dan berkembang, sehingga mampu memberikan sumbangsing bagi bangsa dan negara, seperti halnya ungkapan dari politisi sekaligus mantan Presiden Amerikan John F Kennedy, “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada Negara,”. Soekarno banyak membuat pernyataan yang menumbuhkan semangat bagi para pemuda seperti,“Jika kita memiliki keinginan yang kuat dari dalam hati, maka seluruh alam semesta akan bahu membahu mewujudkannya,”.
Salah satu founding father’s kita itu ingin menegasikan jika para pemuda harus memiliki tekad yang kuat bahkan bila perlu harus bersifat integralistik (manunggaling kawula lan gusti) demi bangsa dan negara. Sebuah konsep nasionalisme yang diambilnya dari Hegel maupun Espinosa yang merupakan salah satu pemikir favorit Soekano selain Karl Renan maupun Otto Bauer. Sejumlah tokoh dan pahlawan nasional seperti Bung Tomo dan Panglima Besar Jenderal Sudirman menjadi Panglima TNI yang melegenda juga masih dalam usia yang sangat muda yakni 30 tahun.
Artinya immaturitas (ketidak matangan) seseorang tidak melulu karena faktor umur semata. Tetapi sangat tergantung dari pola pikir. Meski kemungkinan terjadinya defektologi (kesalahan) seperti yang didefinisikan oleh (Naafs and White 2012) sebagai sebuah kondisi dimana selalu ada yang salah di dalam diri kaum muda Indonesia sehingga menjadi basis justifikasi bagi aktor-aktor eksternal untuk membimbing dan mengarahkan mereka ke jalan yang benar itu sangat besar dan bersifat manusiawi.
Mungkin visi seperti Bung Karno itulah yang ingin diperlihatkan oleh Prabowo Subianto ketika meminang Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres) RI dalam Pilpres 2024. Pilihan Prabowo untuk meminang sosok yang terbilang (anak semalam) bukan anak kemarin sore itu tentu saja membuat banyak pihak terutama kalangan relawan Prabowo sendiri yang syok dan galau. Karena putusan meminang Gibran itu dianggap sebagai ‘pelecehan’ terhadap loyalitas pemilih yang mayoritas menghendaki Prabowo untuk memilih tokoh-tokoh yang lebih senior seperti Erick Tohir, Airlangga Hartarto maupun Khofifah Indarparawansa.
Dapat dipastikan jika Prabowo memilih salah satu tokoh itu tidak akan menimbulkan resistensi maupun sentiment negatif bahkan memberikan benefit politik tambahan. Secara obyektif sentimen negatif itu telah muncul, bukti yang paling sahih adalah minimnya dukungan publik saat pasangan Prabowo-Gibran mendaftarkan diri ke KPU, Rabu (25/10) lalu. Saat itu dukungan publik tidak mencerminkan jika pasangan ini didukung oleh 11 partai yang terdiri dari partai parlemen dan non parlemen. Bahkan margin politik yang diperoleh Prabowo sebelum pengumuman mengalami ‘kerontokan’ dan tergerus secara signifikan sesuai hasil polling sejumlah lembaga survey.
Pertanyan mendasarnya, apakah pertimbangan Prabowo sehingga memutuskan untuk meminang Gibran yang dianggap oleh banyak orang sebagai tindakan yang ‘konyol’. Apalagi sebelumnya ada drama tentang putusan Mahkamah Konstitusi terkait usia Cawapres. Tentu sebagai seorang militer yang kenyang asam garam, Prabowo telah memiliki kalkulasi politik tertentu. Tetapi kalkulasi itu bisa dibaca dengan menggunakan dua narasi besar yakni antara pertimbangan visioner seperti apa yang dilakukan oleh Soekarno untuk membimbing bangsa ini menjadi bangsa yang besar sesuai dengan visi menuju Indonesia Emas 2045 serta perwujudan dari nilai kesetiaan dan loyalitas.
Personality yang melekat dalam diri Prabowo ini terbilang unik. Meski terkesan sangar, ternyata Prabowo memiliki karakter yang melankolis sekaligus jiwa korsa yang tinggi. sebutlah beberapa tokoh yang selama ini berseberangan dengan Prabowo bahkan beberapa tokoh yang sebelumnya dirumorkan manjadi korban penculikan ternyata mereka merasa nyaman dalam lindungan jubah Gerinda. Dan dalam berbagai kesempatan Prabowo selalu mengungkapkan jika dalam diri seorang anggota militer seorang anak buah tetap akan hormat dan loyal terhadap pimpinannya meskipun telah memasuki purna tugas.
Loyalitas itulah yang kemungkinan besar menjadi pertimbangan Prabowo untuk meminang Gibran sebagai Cawapresnya. Alasan loyalitas itu tentu saja tertuju kepada Jokowi yang telah meminangnya sebagai Menhan RI, pasca kekalahannya dalam Pilpres 2019 lalu. Islah dan rekonsiliasi itulah yang mengakibatkan Prabowo merasa respek dan ewuh pakewuh terhadap Presiden Jokowi yang notabene menjadi komandan besarnya. Apalagi secara gestur Jokowi lebih cenderung ke Prabowo ketimbang ke Ganjar Pranowo yang notabene berasal dari rahim politik yang sama, meski akhirnya kedua belah pihak cenderung berseberangan jalan. Kondisi itulah yang sacara moral semakin mendekatkan Prabowo dengan Jokowi. Bahkan dalam berbagai kesempatan keduanya sering berbalas pantun tentang arti persahabatan.
Selanjutnya adalah bagaimana kalkulasi politik dari pilihan Prabowo itu apakah memberikan benefit atau justru sebaliknya. Saat ini Indonesia sedang mengalami fase bonus demografi, sesuai data dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,36 juta jiwa pada Juni 2022.
Dari jumlah tersebut, ada 190,83 juta jiwa (69,3%) penduduk Indonesia yang masuk kategori usia produktif (15-64 tahun). Terdapat pula 84,53 juta jiwa (30,7%) penduduk yang masuk kategori usia tidak produktif. Rinciannya, sebanyak 67,16 juta jiwa (24,39%) penduduk usia belum produktif (0-14 tahun) dan sebanyak 17,38 juta jiwa (6,31%) merupakan kelompok usia sudah tidak produktif (65 tahun ke atas).
Terkait dengan kalkulasi politik sesuai dengan data dari Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia atau KPU RI telah menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional untuk Pemilu 2024 sebesar 204.807.222 jiwa. Dari jumlah itu, 52 persen diantaranya merupakan pemilih muda. Penetapan tersebut dilakukan dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi DPT Nasional Pemilu 2024 di Kantor KPU RI, Jakarta, pada hari ini, Ahad, 2 Juli 2024. Berdasarkan data KPU tersebut, jumlah pemilih muda mencapai 106.358.447 jiwa.
Rinciannya, pemilih berusia 17 tahun sebanyak 0,003 persen atau sekitar 6 ribu jiwa. Kemudian pemilih dengan rentang usia 17 tahun hingga 30 tahun mencapai 31,23 persen atau sekitar 63,9 juta jiwa. Lalu disusul dengan Pemilih dengan 31 tahun hingga 40 tahun sebanyak 20,70 persen atau sekitar 42,395 juta jiwa. Sementara pemilih dengan usia lebih dari 40 tahun persentasenya mencapai 48,07 persen atau berjumlah 98.448.775 orang.
Segmen politik 52 % atau sekitar 106.385.447 pemilih itulah yang dibidik oleh kubu Prabowo dengan memilih Gibran sebagai Cawapresnya. Pemilih yang masuk kategori sebagai Gen Z atau pemilih milenial itulah yang akan disasar oleh pasangan Prabowo- Gibran meski waktunya sangat terbatas. Persoalan selanjutnya, apakah sosok Gibran ini sudah bisa mewakili aspirasi kalangan kawula muda itu, atau hanya secara kualifikasi umur Gibran telah memenuhi keterwakilan generasi muda itu. Karena secara obyektif pemilih juga ingin melihat kiprah Gibran yang bisa memenuhi eskpektasi dari kawula muda yang didefnisikan melalui tiga perspektif perspektif transisi, budaya kaum muda dan generasi sosial (Furlong, Woodman and Wyn 2011; Woodman and Wyn 2015; Woodman and Bennett 2015).
Maka PR terbesar konsultan politik dari kubu Prabowo-Gibran adalah bagaimana cara konsultan politik itu mempermak atau meng-upgrade sosok Gibran dalam tiga persepektif itu sehingga benar-benar mewakili budaya hidup kaum muda. Tidak hanya sekedar mewakili secara umur. Tentu saja harus menggunakan materi-materi kampanya yang bersifat tematik. Satu hal yang harus diingat, kubu Prabowo-Gibran juga sedang menghadapi arus balik, karena ada sebagian yang merasa kecewa dengan pilihan itu dan memilih untuk berpindah kelain koalisi.(***)
- Penulis adalah Direktur Kajian Poleksusbudkum Cakra Emas Syndicate.