Analisis Perseteruan Once dan Mas Dhani Terkait Izin Pencipta Lagu Untuk Menyanyikannya dalam Pertunjukan (Pasal 9 jo Pasal 23 ayat (5) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta)
Oleh Dr. Russel Butarbutar, S.H., S.T., M.H., M.M.
Undang-Undang Hak Cipta (UU No 28/2014) ini hadir untuk mengakomodir perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan sastra, sudah demikian pesat sehinggamemerlukan peningkatan pelindungan dan jaminan kepastian hukum bagi pencipta, pemegang Hak Cipta, dan pemilik Hak Terkait. Lebih lanjut, UU ini mengatur tentang hak cipta, khususnya mengatur hak ekonomi ( Pasal 8-11) dan Hak Ekonomi Pelaku Pertunjukan (Pasal 23 ayat (5).
Dari perseteruan antara Once dan Mas Dhani tersebut dapat dikonkritisasi kedalam 2 (dua) permasalahan hukum:
- Apakah Pasal 9 UU Hak Cipta bertentangan dengan Pasal 23 ayat (5)?
- Apakah Pasal 23 ayat (5) merupakan lex specialist dari Pasal 9 UU Hak Cipta?
Analisisnya:
1. Apakah Pasal 9 UU Hak Cipta bertentangan dengan Pasal 23 ayat (5)
Pasal 8 menyatakan: Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaatekonomi atas ciptaan. Lebih lanjut, Pasal 9 menyatakan:
- Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untukmelakukan:a. penerbitan Ciptaan;b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya, termasuk perbuatan Penggandaan diantaranya perekaman menggunakan kamera video) (camcorder) di dalam gedung bioskop dan tempat pertunjukan langsung (live performance) ;c. penerjemahan Ciptaan;d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; f. pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman Ciptaan; g. Komunikasi Ciptaan; dan h.penyewaan Ciptaan.
- Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkanizin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
- Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaandan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.
Sementara di Pasal 23 ayat (5) mengatakan bahwa Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpameminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melaluiLembaga Manajemen Kolektif.
Dari aturan pasal tersebut (Pasal 9 dan Pasal 23 ayat (5) sebenarnya tidak ada pertentangan norma. Cuma Pasal 23 ayat (5) merupakan penegasan tentang pelaksanaan hak ekonomi khususnya Hak Ekonomi Pengguna Hak Cipta. Jadi UU ini tidak hanya melindungi Hak Ekonomi Pencipta saja namun Hak Ekonomi Pelaku Pertunjukan atau penggunahak cipta juga turut dilindungi.
Lebih lanjut, Pasal 9 merujuk kepada pengaturan tentang hak ekonomi pencipta (Vide Pasal 8), Pasal 9 ayat (1) mengatur tentang substansi dan bentuk hak ekonomi Pencipta. Pasal 9 ayat (2) berfungsi untuk mewujudkan hak ekonomi pencipta maka setiap orang wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta. Pasal 9 ayat (3) merujuk ke Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 9 ayat (1) yaitu setiap orang dilarang untuk melakukan penggandaan dan/ atau penggunaan secara komersial ciptaan yang tidak memenuhi hak pencipta yaitu hak ekonomi pencipta yang diwujudkan dengan kewajiban mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta.
Lebih lanjut, di Pasal 23 ayat (5) dikatakan bahwa : “Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.”
Artinya jika setiap orang yang menggunakan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tidak perlu meminta iizin dari pencipta atau pemegang hak cipta sejauh pengguna telah melaksanakan kewajibannya yaitu dengan memberikan imbalan kepada Pencipta” atau Royalti yang nilainya ditetapkan secarastandar oleh Lembaga Manajemen Kolektif. Artinya izin itu tidak diperlukan (atau izin sudah digantikan) manakala pengguna hak cipta sudah membayar imbalan atau royalti dimaksud. Jadi Pasal Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 9 ayat (1) tidak berlaku lagi di sini.
Lebih lanjut, setiap ciptaan yang sudah dicatatkan, khususnya lagu merupakan hak cipta yaitu hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratifsetelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan.
Jadi bagaimana dengan perseteruan antara Once dengan Mas Dhani, saya kira perseteruan ini tidakmasuk ke ranah pelanggaran atau domain UU Hak Cipta (Vide Pasal 113) sejauh Once melakukan kewajiban hukumnya, karena sudah jelas dikatakan Pasal 23 ayat (5) bahwa Once atau siapa saja bebas menggunakan lagu ciptaan Mas Dhani sejauh ia telah melakukan kewajibannya dengan cara memberikan imbalan kepada Pencipta lagu (Mas Dhani) atau dengan kata lain Jika Once sudah atau telah melaksanakan kewajiban hukumnya dengan cara membayar atau memberikan royalti yang nilainya ditetapkan secara standar oleh Lembaga Manajemen Kolektif dia tidak dapat dituntut telah melanggat Pasal 9 ayat (1) (Vide Pasal 113).
2. Apakah Pasal 23 ayat (5) merupakan lex specialist dari Pasal 9 UU Hak Cipta?
Saya kita tidak ya, karena Pasal 9 dan Pasal 23 ayat (5) sama-sama berada pada undang-undang yang sama yaitu UU tentang Hak Cipta. Kedua Pasal dimaksud merupakan pasal/aturan ksusus yang menerangkan lebih lanjut tentang norma hak cipta (Pasal 1 ayat 1), norma hak ekonomi (Pasal 1 angka 21), norma tentang Lembaga Manajemen Kolektif (Pasal 1 angka 22), dan norma tentang penggunaan secara komersial (Pasal 1 angka 25). Bukan dalam artian bahwa Pasal 23 ayat (5) lebih khusus dari Pasal 9. Kedua pasal ini sama derajatnya, cuma Pasal 9 merujuk kepada norma perlindungan hak ekonomi pencipta, sementara Pasal 23 ayat (5) merujuk kepada norma perlindungan hak ekonomi pengguna hak cipta, penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan, kepastian hukum pembayaran royalti atau imbalan kepada Pencipta melaluiLembaga Manajemen Kolektif.
Jika kita merujuk ke dalam prinsip “Lex specialist derogate lex generali” yaitu prinsip dalam hukum yang menyatakan bahwa hukum yang lebih khusus atau khusus mengesampingkan hukum yang lebih umum atau umum. Dalam hal ini, “lex” berarti undang-undang atau aturan hukum, “specialist” berarti lebih spesifik atau khusus, dan “general” berarti lebih umum atau universal.Prinsip ini sering digunakan dalam sistem hukum yang memiliki hierarki peraturan hukum, di mana ada undang-undang yang lebih khusus dibandingkan dengan undang-undang yang lebih umum. Jika terdapat konflik antara dua aturan hukum yang berbeda, prinsip “lex specialist derogate lex generali” menetapkan bahwa aturan yang lebih khusus harus diutamakan dan digunakan, sedangkan aturan yang lebih umum harus diabaikan.
Contoh penerapan prinsip ini adalah ketika terdapat aturan hukum yang secara khusus dalam hukum pidana misalnya dalam Pasal 63 Ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi “Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”
Lebih lanjut, menurut Bagir Manan (Mantan Ketua Mahkamah Agung R.I), prinsip Lex specialist derogate lex generali dapat digunakan jika : Ketentuan yang didapati dalam aturan yang bersifat umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.
- Ketentuan yang bersifat khusus harus sederajat dengan ketentuan yang bersifat umum. Misalnya, undang-undang dengan undang-undang.
- Ketentuan yang bersifat khusus harus berada dalam lingkungan hukum yang sama dengan ketentuan yang bersifat umum. Misalnya, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.
Jadi berdasarkan parameter dan/atau syarat pengguanan prinsip Lex specialist derogate lex generali di atas dan substansi pasarl yang diatur, maka Pasal 23 ayat (5) bukan merupakan lex specialist dari Pasal 9 UU Hak Cipta.
- Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Bung Karno