- Advertisement -
Pro Legal News ID
Opini

Anak Polah Bapa Kepradah, Antara Bola Api Dan Bola Salju

Oleh : Gugus Elmo Ra’is

Goro-goro yang menimpa tubuh Partai Demokrat menyisakan sejumlah pertanyaan yang misterius. Meski konflik internal di tubuh partai adalah dinamika politik yang biasa. Partai politik adalah sekumpulan orang yang datang  dan membawa aspirasi maupun orientasi politik sekaligus orientasi kekuasaan yang dibuat dalam salah satu wadah bersama secara terorganisir. Maka ketika salah satu elemen partai merasa aspirasinya tersumbat, adalah lumrah jika kader partai itu berontak dan melakukan kudeta atau mungkin akan keluar dan membuat partai baru.

Tetapi ketika proses suksesi kepemimpinan AHY di Partai Demokrat yang baru seumur jagung, dilakukan oleh sekumpulan orang yang merasa tidak puas atas kepemimpinannya serta melibatkan ‘orang luar’ yang dekat dengan pusat kekuasaan tetap akan menyisakan banyak misteri. Apalagi disebut-sebut jika cara yang dilakukan itu tidak sesuai dengan mekanisme partai berdasarkan AD/ART partai yang bersangkutan. Maka lumrah bila publik mempertanyakan ada apa dibalik itu semua. Hingga saat ini ada tiga hipotesa yang dominan dan  mengapung ke permukaan.

Pertama adalah ketidak mampuan managerial AHY yang memang terbilang masih hijau dalam berpolitik. Bahkan bila dibandingkan dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, termasuk bila dibandingkan dengan adiknya sendiri Ibas. Kondisi inilah yang membuat AHY terkesan gagap menjadi nahkoda partai yang sempat menjadi partai pemenang (ruling party) dalam Pileg 2009 lalu dengan perolehan suara sebesar 20,85 % sekaligus mengantar Soesilo Bambang Yudhoyono bersama pasangannya Boediono menjadi pemenang Pilpres 2009.

Ketika AHY diangkat sebagai Ketum PD melalui Kongres Partai Demokrat ke V di JCC, Senayan, Jakarta 2020 lalu tak sedikit yang meragukan kapabilitas AHY untuk menjadi nahkoda Partai Demokrat. Terutama bila menghadapi kader-kader senior PD yang mungkin sudah merasa terpinggirkan ketika masih dipimpin oleh SBY. Maka sedikit banyak ada faktor syndrome immaturitas (ketidak matangan) dalam berorganisasi, tetapi bila itu dianggap sebagai sebuah kesalahan tidaklah terlalu fatal dan seharusnya dimaklumi oleh orang-orang yang benar-benar mencintai Partai Demokrat.

Hipotesa kedua yang terkesan seram  dan dinyatakan oleh orang-orang yang berseberangan secara politik dengan Partai Demokrat maupun SBY baik ketika masih menjadi Ketum partai berlambang Mercy itu atau menjadi Presiden RI selama dua periode, adalah adanya karma politik. SBY seakan menjadi orang yang ‘kuwalat’ secara politik, ketika membiarkan pertikaian di Partai PKB, antara Kubu Gus Dur maupun  Kubu Muhaimin Iskandar. Diamnya SBY seakan menjadi faktor pembenar jika Presiden RI ke 6 itu menikmati perkelaian itu. Maka ketika kini AHY dikudeta oleh orang-orang di sekitarnya, banyak pihak yang memaklumi konflik internal itu, bahkan  mungkin ada juga yang tepuk tangan meski hanya dalam hati.

Tesis yang ketiga adalah adanya intervensi dari pusat kekuasaan. Hipotesa ini berdasarkan realitas jika aktor utama pengambil alihan kekuasaaan itu adalah Moeldoko yang notabene sebagai Kepala KSP (Kepala Staff Presiden). Menjadi sesuatu yang tak terhindarkan jika kemudian muncul tudingan istana memiliki agenda dibalik kudeta itu. Minimal mereka pasti tahu, jika ada goro-goro di tubuh Partai Demokrat yang melibatkan salah satu figur penting di istana. Setelah publik tahu, maka pertanyaannya selanjutnya adalah motif  apakah yang melatar belakangi sehingga Moeldoko berani ‘pasang badan’ dibalik peristiwa itu.

Ada beberapa spekulasi yang berkembang, jika ada grand skenario dibalik peristiwa kudeta itu. Diantaranya adalah PDI-P mempersiapkan sekoci baru dalam menghadapi Pilpres 2024, setidaknya mereka antisipasi jika Gerindra dan Golkar berpaling ke lain hati. Apalagi sejumlah survey menyatakan jika hingga saat ini Prabowo leading dalam perolehan suara.  Peristiwa Batu Tulis, mungkin bisa menjadi pegangan jika kesetiaan politik itu tidak penting.   Tetapi juga  ada sasaran antara yakni PDI-P butuh teman untuk mengegolkan UU tentang masa jabatan presiden, yang mereka inginkan menjadi tiga periode. Dengan mengambil alih Demokrat maka rencana itu bisa berjalan mulus, untuk menjadikan Jokowi perseiden selama 3 periode.

Berangkat dari berbagai hioptesa itu, maka mau tidak mau kini Jokowi maupun PDI-P ketiban bola panas (fire ball). Pernyataan sikap RI 1 itu saat ini tengah ditunggu-tunggu oleh publik. Tak ubahnya seperti seloka Jawa, anak polah bapa kepradah (anak bikin ulah orang tua akan tetap kena getahnya), mau tidak mau, suka tidak suka Jokowi harus mengambil sikap atas perbuatan yang telah dilakukan oleh Moeldoko. Karena KSP tak ubahnya seperti tangan kanan Jokowi, mustahil itu akan dilepaskan begitu saja bila tidak ingin melahirkan spekulasi liar yang pada akhirnya justru merugikan nama Jokowi serta PDI-P sendiri. Disinilah Jokowi ditunggu sebagai ‘Bapak Bangsa’ untuk menengahi anak-anaknya yang sedang  bertikai memperebutkan kue.

Terus bagaimana bila Jokowi ambil sikap diam, apa kerugian dan keuntungan yang diperoleh SBY ?. Sekilas memang SBY kalah telak dan rugi besar dengan adanya kudeta itu, padahal sesungguhnya justru sebaliknya. SBY kini tak ubahnya ketimpa bola salju (snow ball). Sikap diam SBY saat menghapi konflik PKB tidak bisa dijadikan acuan untuk berlaku sama, karena pertikaian PKB itu tidak melibatkan orang di lingkar kekuasaanya.

Bila pemerintah membiarkan konflik itu bahkan memberikan SK persetujuan terhadap Kongres Sibolangit, maka SBY justru akan memperoleh durian runtuh. Meski katakanlah secara de jure  pemerintah melalui Menkumham  merestui Partai Demokrat versi Sibolangit, Demokrat AHY tetap tidak akan rugi karena secara de facto, mayoritas DPD maupun DPC Partai Demokrat maupun grass root mereka tetap berada di belakang AHY. Sehingga ABY maupun Demokrat tinggal memainkan isu jika pihaknya adalah pihak yang didzolimi oleh pusat kekuasaan.

Dalam kondisi terdesak, Partai Demokrat AHY tinggal mendaftarkan sebagai partai baru seperti halnya PDI-P tahun 1999 ketika sedang mengalami konflik internal melawan kubu Budi Harjono dan terbukti akhirnya PDI-P yang memperoleh suara yang signifikan dalam  Pemilu edisi selanjutnya. Dan satu hal yang perlu diinget SBY adalah sosok yang selama ini kenal sebagai Perwira Tinggi yang jago strategi, kondisi ini jelas akan dieksplorasi sedemikian rupa demi keuntungan partainya.  Setidaknya hal itu mulai terlihat dari pidato SBY ketika menanggapi aksi Jhony Allen Marbun Cs. Karena sebagai mantan Aster, SBY tentu sangat faham dengan karakter masyarakat kita yang gampang memelas  dan gampang hiba.

Maka untuk menghentikan efek snow ball (bola salju)  itu terus bergulir, Jokowi harus segera mengambil langkah yang win-win solution untuk mendorong para pihak untuk melakukan rekonsiliasi sekaligus membuktikan jika istana  tidak cawe-cawe atas terjadinya Tragedi Sibolangit, itu murni persoalan pribadi Moeldoko. Sehingga Jokowi dan PDI-P tidak akan ketempuhan, dan ketimpa bola panas,  yang akan menjadi amunisi politik yang hebat dalam Pilpres 2024.*** 

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan