- Advertisement -
Pro Legal News ID
Nasional

Alumni FH UBK Desak Pemerintah Tidak Grusa-Grusu Dalam Membuat Peraturan Maupun Undang-Undang

Ilustrasi (rep)

Jakarta, Pro Legal-Konsideran pemerintah dalam membuat Undang-Undang  No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau yang lebih dikenal dengan Omnibus Law  yang ditindak lanjuti dengan penerbitan  Undang-Undang No 6  tahun 2023 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Penggganti Undang-Undang (Perppu) No 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, sebenarnya cukup baik. Karena itu merupakan proses harmonisasi peraturan dari sekitar 84 undang-undang serta sekitar 1200 pasal yang saling bertabrakan dan cenderung menghambat iklim investasi.

Namun proses harmonisasi itu tidak boleh grusa-grusu bila hanya sekedar untuk meninggalkan legacy dari rezim yang berkuasa. Hal itu dikemukakan oleh pengamat sosial maupun pengamat politik yang juga alumni dari Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, Gugus Elmo Rais, “ Saya kira pemerintah tidak bisa mengabaikan sosilogi hukum, karena penerbitan undang-undang itu tidak di ruang hampa, karena menurut Schuyt maupun Otje Salman dalam penerbitan sebuah norma hukum itu harus diperhitungkan fenomena sosial dari masyarakat yang akan menerima ketentuan itu,” ujarnya, Sabtu (12/8).

Hipotesa Gugus itu berdasarkan fakta empiris jika penerbitan peraturan itu telah menimbulkan kegaduhan berupa demo dari berbagai elemen masyarakat terutama dari kalangan buruh. Tercatat sekitar 15 serikat pekerja kini sedang mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi bahkan dalam demo tanggal 10 Agustus lalu tercatat 20 serikat buruh melakukan aksi unjuk rasa untuk menolak Undang –Undang No 6 tahun 2023.”Pemerintah tidak perlu terlalu paranoid dan menganggap jika gerakan itu adalah gerakan politis, satu hal yang saya lihat jika proses pembuatan undang-undang itu telah menabrak ketentuan dalam UU No 12 tahun 2011 tentang Naskah Akademik terutama tentang pasal kejelasan rumusan dan partisipasi publik,” jelas Gugus.

Penulis buku, ‘Turunkan Nilai Dolar Menjadi 2500 Rupiah’ itu menambahkan alasan dari kalangan buruh itu juga sangat realistis karena dalam beleid terbaru terutama dalam kluster peraturan ketenaga kerjaan UU No 6 tahun 2023 tidak jelas mengatur tentang pesangon bagi buruh korban PHK. Bahkan dalam Pasal 40 ayat 1 Perppu No 35 tahun 2021, pemerintah mengijinkan jika perusahaan hanya memberikan separuh dari nilai pesangon yang harus diterima buruh. Padahal dalam pasal 164 Undang-Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketanaga kerjaan sudah jelas pengaturan tentang pemberian hak-hak normatif buruh. Sehingga menimbulkan  keresahan sekaligus tuduhan jika pemerintah lebih mengabdi pada kepentingan oligarki dari pada melindungi hak rakyat sesuai dengan sifat negara yang bercorak demokrasi.

Maka jurnalis senior sekaligus mantan aktivis LSM  ini meminta agar pemerintah mengkaji ulang penerapan peraturan itu, bila perlu melakukan revisi kembali Undang-Undang No 6 Tahun 2023 tersebut.”Pemerintah harus bijak dalam membuat undang-undang itu, bila perlu demi terpenuhinya tahapan dalam konteks partisipasi publik, keluarga besar civitas akademika Universitas Bung Karno yang merupakan wadah dari anak-anak ideologi Bung Karno, siap membantu pemerintah dalam menyusun undang-undang yang bersifat holistik,” jelas Gugus.

Gugus juga mengingatkan,  jika secara definitif pemerintah memberlakukan semua ketentuan itu diprediksi akan menimbulkan kompleksitas persoalan yang luar biasa.”Kita juga harus memperhitungkan dampak dari penormaan baru itu, bila kita menggunakan asas lex superiror derogat lex inferior, ketika UU No 6 tahun 2023 itu diberlakukan maka secara otomatis 84 undang-undang itu tidak berlaku, sementara dari satu kluster tentang ketenaga kerjaan saja sudah menimbulkan kegaduhan yang luar biasa lalu bagaimana dengan undang-undang yang lain ?,” tandas Gugus.(red)       

prolegalnews admin

Tinggalkan Balasan