Jakarta, Pro Legal
Seperti yang diprediksi semula, dalam Munaslub Partai Golkar yang diadakan tanggal 18-20 Desember 2017, secara aklamasi Airlangga Hartato terpilih sebagai nahkoda baru partai berlambang pohon beringin itu. Airlangga diyakini akan mampu wujudkan ‘Golkar Bersih’. Golkar dibawah kendali Air Langga Golkar mejadi ancaman baru yang potensi akan memenangkan pileg 2019.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir Partai Golkar nyaris tidak pernah lepas dari konflik. Bahkan delam rentang waktu 3,5 tahun, partai ini telah berganti nahkoda hingga lima kali. Mantan Ketum Golkar, H M Yusuf Kalla secara berkelakar pernah menyebut Golkar telah memecahkan rekor dunia dalam hal konflik dan pergantian ketua umum. Hal itu seakan membuktikan jika partai yang lahir pada era Orde Baru ini adalah partai yang paling dinamis sekaligus menunjukkan jika Golkar adalah salah satu partai yang paling banyak memiliki kader yang mumpuni.
Maka ketika Partai Golkar dilanda prahara, karena tersandera oleh persoalan hukum yang membelit sang Ketum, Setyo Novanto terkait dugaan korupsi E-KTP, publik segera meyakini jika partai yang didirikan oleh mantan Presiden Soeharto itu akan segera melakukan konsolidasi sekaligus memilih Ketum yang baru. Dari bursa yang ada hanya dua nama yang memiliki kans kuat yakni Azis Syamsudin dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartato. Dalam Rampimnas Golkar, 13 Desember 2017 lalu secara aklamasi Airlangga terpilih sebahai Ketum baru dan disahkan dalam Munaslub Golkar tanggal 18-20 Desember.
Semua kader Golkar sudah mengetahui track reccord Airlangga yang relatif bersih dan diterima semua pihak. Maklum, selain dikenal bertangan dinggin Airlangga jarang membuat konflik terbuka dangan kalangan internal partai maupun dengan pihak luar. Sikap arif Airlangga itu juga diperlihatkan dalam pidato pasca kemenangan dirinya memperoleh kursi sebagai orang nomor satu di Golkar. “Tidak ada faksi-faksi di Partai Golkar. Yang ada adalah seluruh kita bersama, bekerja dalam satu setengah tahun ke depan menyelesaikan agenda-agenda politik,” ujarnya saat itu.
Pidato Airalannga itu bagi kalangan internal Golkar terasa menyejukkan. Airlangga terkesan ingin merangkul semua kalangan dan mengakomodir kader-kader Golkar meski berbeda faksi. Maklum sebelum terpilihnya Airlangga konflik di internal Golkar cukup tajam. Maka dengan pidato itu seakan Airlangga memberi pesan jika partainya akan segera melakukan konsolidasi untuk menghadapi tahun politik 2018-2018. Maklum dalam tahun 2018 akan ada Pilkada serentak di seluruh Indonesia. Sementara pada tahun 2019 akan ada Pemilihan Presiden (Pilpres).
Hal itu disampaikan oleh Aditya Perdana, Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, menilai Airlangga berupaya membangun konsolidasi menjelang Pilkada 2018 dan Pemilihan Presiden 2019. “Seperti yang disampaikan Pak Airlangga, tantangannya adalah konsolidasi. Ini bukan hal mudah,” ujar Aditya.
Untuk kepentingan konsolidasi itulah, Airlangga tidak ingin melakukan perubahan besar-besaran yang akan menimbulkan riak dan konflik baru. Sehingga dalam proses penyusunan kepengurusan baru itu Airlangga tidak melakukan perubahan yang drastis.. “Pak Airlangga, menurut saya, tidak akan melakukan perubahan drastis. Kalau dia melakukan perubahan drastis, banyak yang akan keluar dari partai. Karena ini tahun yang kritis, 2018 dan 2019. Mesin partai harus bergerak, semua harus bergerak dalam waktu cepat. Jadi saya pikir statement Pak Airlangga alasan paling logis,” paparnya.
Dengan langgam kepemimpinan yang tenang dan sejuk Airlangga seakan ingin membawa Golkar secara perlahan keluar dari stigma yang buruk sebagai partai yang cenderung korup dan ogah berjauhan dengan pusat kekuasaan. Meski desakkan untuk melakukan perubahan kepengurusan berhembus cukup kencang. Salah satunya dari Firman Subagyo yang dikenal sebagai kader senior sekaligus Sekretaris Dewan Pakar Partai Golkar. “Airlangga diberikan mandatory untuk melakukan evaluasi terhadap masalah struktur kepengurusan, apakah nanti dipertahankan seperti ini atau akan ada perubahan personalia, itu menjadi kewenangan ketua umum. Dia akan diberi mandat penuh untuk revitalisasi partai,” kata Firman.
Tugas Berat Untuk Selamatkan Partai
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto saat mendampingi Presiden Jokowi pada Munaslub partai Golkar yang di gelar di JCC Senayan Jakarta
Meski suksesi dalam tubuh Partai Golkar berjalan mulus serta proses perjuangan untuk memperoleh kursi kekuasaan di Golkar relatif mudah, bukan berarti langkah Airlangga akan berjalan dengan mudah. Maklum, tingkat elektabilitas Partai Golkar saat ini free fall alias terjun bebas karena tersandera oleh persoalan hukum yang menjerat mantan Ketum Golkar, Setyo Novanto. Hasil jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia menyebut elektabilitas Partai Golkar berada di posisi ketiga setelah PDIP dan Partai Gerindra dengan hanya memperoleh elektabilitas 11,6%, tertinggal dari PDI Perjuangan 24,2%, dan Gerindra 13%. “Kalau misalnya tidak ada perubahan Golkar bisa terlempar dari posisi satu atau dua yang biasanya dia dapatkan. Buktinya survei sekarang dia di posisi nomor tiga di bawah PDIP dan Gerindra. Jadi memang Golkar harus segera membuat gebrakan untuk bisa menaikkan elektabilitas yang sekarang posisi nomor tiga dan tren negatifnya,” kata Ardian dari Lembaga Survei Indonesia.
Sementara itu Direktur sekaligus peneliti Lembaga Survei Indonesia, Dodi Ambardi, mengatakan kemerosotan elektabilitas Partai Golkar tidak lepas kaitannya dengan kasus dugaan korupsi Setya Novanto, hal itu seperti halnya yang pernah terjadi pada Partai Demokrat ketika Anas Urbaningrum dan Nazaruddin terbelit kasus korupsi. “Pengalaman Partai Demokrat sebelumnya memberikan gambaran kalau korupsi yang dilakukan pengurus teras partai memiliki efek elektoral. Setelah besar-besaran diliput media, suara Partai Demokrat berkurang separuh, dari 20% ke 10%,” jelas Dodi.
Maka berbekal dari pengalaman Partai Demokrat itulah Airlangga dituntut untuk segera melakukan ‘cuci piring’ sekaligus mewujudkan visi ‘Golkar Bersih’ sebagai upaya untuk mengangkat pamor Partai Golkar sekaligus menyelamatkan dari kemerosotan partai. “Potensi dampak elektoralnya sama dengan peristiwa Anas dan Nazarudin untuk Demokrat. Tambahan lagi, isu itu mudah dimobilisasi oleh lawan-lawan politik. Jadi, kalau tidak ada isu besar lain yang muncul, isu dugaan korupsi e-KTP akan memfokuskan perhatian para pemilih utk mengevaluasi Golkar,” ujar Dodi lagi.
Namun Firman Soebagyo, tetap optimis jika kasus Setnov tidak akan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap partainya secara signifikan. Tetapi dia juga menjanjikan jika pihaknya akan kerja keras untuk mengembalikan pamor Partai Golkar. “Kita turun ke lapangan, kemudian memberi penjelasan kepada seluruh elemen partai tingkat bawah, bahwa pentingnya konsolidasi terhadap masalah bagaimana kita bisa mengejar ketertinggalan akibat peristiwa-peristiwa hukum yang menimpa ketua umum lama, pak Setya Novanto,” paparnya.
Keyakinan Firman , jika Golkar akan kembali leading dibawah kepemimpinan Airlangga itu ternyata bukan isapan jempol belaka. Setidaknya dalam survei terhadap 1.200 responden yang dilaksanakan pada 1-14 November lalu, Lingkaran Survei Indonesia menemukan 65,7% publik yakin Golkar bisa bangkit jika ada branding baru. Lalu 18,5% menyatakan Golkar sulit bangkit meski mempunyai branding baru. Sedangkan sisanya menyatakan tidak tahu atau menjawab.
Menurut Peneliti Lingkaran Survei Indonesia, Ardian Sopa, mengatakan ada tiga variabel dalam membuat branding baru oleh Partai Golkar. Tiga hal tersebut mencakup ketua umum baru dengan 34,4%, program baru 27,6%, dan tokoh baru 22,6%. Ia mengatakan satu indikator sudah terpenuhi dengan terpilihnya Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum. Tim