Gresik, Pro Legal
Mengacu pada program pemerintah yang telah mengucurkan dana untuk dunia pendidikan, baik dari Pemerintah Pusat, Propinsi maupun APBD Kabupaten dan Kota.
Tentunya bertujuan agar dunia pendidikan bisa dinikmati oleh masyarakat luas yang ada dinegeri ini, terutama kalangan miskin yang terpuruk ekonominya. Dengan pendidikan yang merata Pemerintah Indonesia berharap agar generasi muda mendatang lebih cerdas, lebih inovatif dan dapat bersaing dengan negara lain didalam era ekonomi global. Namun ironisnya dibeberapa sekolah masih banyak dan sering dijumpai berbagai macam ‘pungutan liar’ (pungli) yang dibungkus rapi dengan program atau kegiatan sekolah. Bahkan yang lebih ironis lagi pelajaran akidah atau agama dijadikan kedok dalam menjalankan aksi pungli ini. Pihak sekolah seakan mengkebiri program mulia yang telah dicanangkan oleh pemerintah di negeri ini. Seperti yang terjadi di SMP Negeri 1 Driyorejo Kabupaten Gresik.
Berbagai macam pungutan-pungutan liar kerab kali terjadi dan membebani siswa-siswi serta orang tuanya, baik secara mental maupun material. Contohnya program dana infak bagi siswa siswi disekolah ini, dalam prakteknya setiap murid dianjurkan membayar infak sebesar Rp.1000,- hingga Rp.2.000,- setiap hari. Dengan alasan dana yang terkumpul untuk pengembangan sarana serta prasarana di sekolah, termasuk pembangunan masjid dilingkungan sekolah. Bahkan menurut salah seorang guru disekolah ini pengelolaan dana infak diserahkan pada guru agama yang juga selaku pengurus atau takmir masjid disekolah. “Saya tidak tauh menauh soal mekanisme ataupun pengelolaan dana infak siswa disini, yang lebih tauh adalah guru agama atau takmir masjid disekolah ini.” jelas Bu. Sumiasih,S.Pd. salah seorang guru pengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia yang juga selaku Kepala Tata Uasaha (TU) disekolah negeri ini, pada Pro Legal beberapa waktu yang lalu.
Data dari sumber terkait atau pihak TU, jumlah siswa-siswi disekolah ini untuk tahun ajaran 2017-2018 sebanyak 1.430 murid. Tentunya jika semua murid rata rata membayar uang infak sebesar seribu rupiah saja, maka dalam sehari terkumpul uang infak sebesar 1.430.000.000,- hasil dari jumlah murid dikali Rp.1.000,- per murid. Memang dalam teorinya sumber terkait menyampaikan kalau tidak ada paksaan bagi semua siswa siswi untuk membayar infak. Sifatnya memang sukarela, namun dalam praktiknya hampir semua murid disekolah ini mengatakan jika mereka tidak membayar infak akan merasa malu didepan teman-temanya, terutama para siswi atau murid perempuan. Selain mendapat ejekan dari para temanya, terkadang guru pengajar juga memberikan sindiran pada siswa maupun siswi yang tidak membayar infak.
“Ayo bayar infak biar rezekinya lancar,” tutur salah seorang murid disekolah ini, menirukan ucapan bu.Binti Maffu’ Asfufah, guru matematika disekolahnya. Uang infak sebesar seribu atau bahkan dua ribu rupiah per hari oleh sebagian murid yang berkecukupan memang bukan suatu masalah, namun bagaimana dengan murid dari kalangan keluarga miskin. Uang sebesar itu sudah sangat berarti bagi mereka.
“Saya dikasih bapak uang saku dua ribu setiap hari,” tutur salah seorang murid dari keluarga tak mampu yang jarang bayar infak dan seringkali mendapat ejekan teman ataupun gurunya. Sambil sedikit menahan tangis murid ini juga menuturkan jika dia jarang sekali jajan disekolah, uang sakunya seringkali ditabung untuk membayar kegiatan penunjang pelajaran disekolah. Seperti foto copy, membeli buku LKS dan kegiatan ekstra lainya. Ibunya terkadang juga memberi bekal makwanan dari rumah, agar berhemat dan tak jajan disekolah. Dia juga harus berjalan kaki kurang lebih empat kilo meter setiap harinya, untuk berangkat dan pulang sekolah. Bus Sekolah yang disediakan oleh Pemkab Gresik hanya bisa mengantar dan menjemput siswa dari gerbang sekolah hingga gerbang desa yang berada dipinggir jalan raya Driyorejo.
Bahkan jika tertinggal oleh Bus Sekolah, tak jarang dirinya mencari tumpangan pada pengendara sepeda motor yang melintas dijalan raya antara sekolah dan desanya. Bapaknya pekerja kuli serabutan, sedangkan ibunya berjualan gorengan keliling desa. Jangankan sepeda motor, sepeda anginpun mereka tak punya. Namun setiap pagi bapaknya mengantar ke sekolah dengan berjalan kaki sejauh dua kilo meter dari rumahnya sampai ujung desa. Sambil memberikan bisikan semangat bapaknya menunggu sejenak hingga Bus Sekolah berjalan meninggalkan gerbang desa.
“Sekolah yang pinter ya nak, biar kamu kelak jadi orang sukses,” murid ini menirukan kata semangat yang setiap pagi dibisikan bapaknya.
Selain adanya pungutan uang infak, di SMP Negeri 1 yang terletak dijalan Tenaru Driyorejo ini juga ada indikasi melakukan pungli yang lain dalam kegiatan sekolah. Siswa-siswi dianjurkan membeli buku kisi-kisi yang ditawarkan oleh pihak ketiga dengan harga satuanya sebesar Rp.80.000,- menurut para murid penjual buku kisi-kisi ini berasal dari Propinsi Jawa Barat. Bahkan dengan bahasa memikat layaknya seorang sales propesional, mereka ini mewanti-wanti para murid untuk tidak bilang kesiapapun juga jika buku yang mereka tawarka harga aslinya sebesar Rp.250.000,-
“Buku ini harga aslinya dua ratus lima puluh ribu, khusus untuk murid disini saya kasih harga promo cuma delapan puluh ribu saja,” tutur salah seorang siswa kelas sembilan menirukan gaya serta ucapan sales buku kisi-kisi dan diamini juga oleh teman-temanya yang lain.
Namun ironisnya kembali nara sumber dari sekolah ini mengaku tidak tahu menahu terkait penjualan buku kisi-kisi ini yang beredar disekolah mereka. Bahkan bu.Sumiasih yang juga akrab disapa bu.Asih selaku kepala TU dan juga beberapa stafnya serta para guru yang lain juga tidak mengetahui kedatangan sales buku kisi kisi yang mendatangi sekolah tempat mereka mengajar ini. Sebagai catatan pendukung, kedatangan wartawan Pro Legal ke sekolah ini terlebih dulu melalui scraining yang ketat. Pertama meminta ijin dan memberikan alasan kedatangan kepada petugas satpam diruangan satpam yang berada disisi depan gerbang sekolah. Selanjutnya dikawal petugas satpam menuju ruang guru. Lanjut diterima salah seorang guru untuk didata dan diminta mengisi buku tamu, selanjutnya mengisi buku tamu untuk menyampaikan maksut dan tujuan datang kesekolah ini. Akhirnya Pro Legal hanya bisa ditemui oleh bu.Asih selaku Kepala TU disekolah ini, saat itu dia menyampaikan kalau kepala sekolah sedang ada rapat penting bersama dewan guru dan tidak bisa diganggu.
Sementara itu secara terpisah, Irwanto.SH, Ketua Wilayah Jawa Timur Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Rakyat Indonesia Baru (LSM GRIB). Berkomentar bahwasanya berdasarkan Pasal 12 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Perbuatan pungli yang dilakukan oleh oknum disekolah baik oleh Kepala Sekolah maupun oleh guru dan tidak memandang besar kecil nominal uangnya sudah dikategorikan sebagai gratifikasi yang dilakukan oleh seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Berapapun besar kecilnya nilai pungutan liar itu, dan dilakukakn oleh seorang PNS. Baik guru maupun seorang kepala sekolah, ini jelas sudah dikatagorikan gratifikasi. Dan bisa dijerat dengan undang undang tipikor. Sesuai pasal duabelas nomor tiga puluh satu tahun sembilan belas sembilan sembilan yang diubah menjadi undang-undang nomor dua puluh tahun dua ribu sebelas.” tegas Ketua LSM yang sangat militan dan sering mengawal kasus kasus besar yang mendzolimi masyarakat Jawa Timur.
Selain itu aktifis yang akrab disapa Bang Irwan ini juga menyampaikan pandangannya bahwa masyarakat juga dapat berperan aktif untuk peningkatan mutu pendidikan pada satuan pendidikan atau sekolah, tentunya melalui ‘Komite Sekolah’. Komite sekolah adalah lembaga mandiri yang di bentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan dan arahan. Bahkan juga dukungan, baik tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan sekolah maupun madrasah.
“Salah satu tujuan dibentuknya Komite Sekolah adalah untuk mewadahi dan meningkatkan partisipasi para stokholder pendidikan pada tingkat satuan pendidikan atau sekolah. Agar turut serta merumuskan, menetapkan, melaksanakan dan monitoring pelaksanaan kebijakan sekolah terkait pertanggung-jawaban yang berfokus pada kualitas pelayanan pendidikan secara proporsional dan terbuka. Hal ini seharusnya pula dijalankan pada SMP Negeri 1 Driyorejo. Tentunya pula untuk mendukung tujuan mulia dari UU nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS. Bukan malah sebaliknya, sekolah dijadikan ajang meraup kekayaaan pribadi ataupun golongan.” tutur Bang Irwan dengan geram. djoko